MAKALAH
USHUL FIQH
SUMBER DAN DALIL – DALIL HUKUM ISLAM
Disusun Oleh :
Nama : Elen Saparingga (1611109)
: Galih (1611112)
Kelas : PAI 2 D
Dosen Pengampu :
Rudini M.pd.I
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK
BANGKA BELITUNG
2016/2017
-------------------
PENDAHULUAN
a.Latar belakang
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan tentang definisi ushul fiqih dan istimdad dalam ushul fiqih .Yang mana pengertian ushul fiqih secara terminologi yaitu ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dapat mengantarkan kepada hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalinya yang rinci. sedangkan istimdat itu sendiri adalah pengambilan dari suatu hukum yang dalam kaitannya dengan ilmu ushul fiqih.
Dalam makalah kelompok ini, akan membahas tentang adanya sumber dan dalil hukum-hukum Islam yakni pengertian sumber dan dalil,sumber dan dalil hukum islam yang meliputi Alqur’an ,As-Sunnah, dan Ra’yu (Ijtihad) yang terdiri dari ijma, qias, ‘urf, istihab, syar’u man qablana,dan mazab shahabi.
----------------
PEMBAHASAN
1 .Pengertian Sumber dan Dalil
Dalam bahasa Arab, yang dimaksud dengan “sumber” seacara etimologi adalah mashdar, yaitu asal dari segala sesuatu dan tempat merujuk segala sesuatu. Dalam ushul fiqih kata mashdar al-ahkam al-syar’iyyah secara terminologi berarti rujukan utama dalam menetapkan hukum islam, yaitu Alquran dan Sunnah.
Sedangakan “dalil” dari bahasa Arab al-dalil, jamaknya al-adillah, secara etimologi berarti,
“Petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat material maupun non material (maknawi).”
Secara terminologi, dalil mengandung pengertian,suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya qathi, (pasti) maupun zhanni (relatif).
2.Sumber dan Dalil Hukum Islam
1) Alquran
A. Pengertian Alquran
Secara etimologis, Alquran adalah mashdar dari kata qa-raa yang artinya bacaan.Sedangkan secara terminologis Alquran adalah, Kalam Allah yang mukjz, diturunkan kepada Nabi dan Rasul penghabisan dengan perantaraan Malaikat terpecaya, Jibril, tertulis dalam mushaf yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah,yang dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.
B.Hukum-hukum Yang Dikandung Alquran Dan Tujuan Diturunkan Alquran
Para ulama Ushul Fiqih menginduksi hukum-hukum yang dikandung Alquran terdiri atas: I’tiqadiyah, Khuluqiyah, dan Ahkam ‘amaliyah.
Tujuan diturunkannya Alquran yakni seebagai mukjizat yang membuktikan kebenaran Rasullah dan sebagai petunjuk , sumber syari’at dan hukum-hukum yang wajib diikuti dan dijadikan pedoman.
B.Penjelasan Alquran Terhadap Hukum-hukum
1..Ijmali (global), yaitu penjelasan yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut dalam pelaksanaannya. Contoh; masalah shalat, zakat dan kaifiyahnya.
2.Tafshili (rinci), yaitu keterangan jelas dan sempurna, seperti masalah akidah, hukum waris dan sebagainya.
B. Dadalah Alquran Terhadap Hukum-hukum
Dadalah Alquran terhadap hukum-hukum adakalanya bersifat qathi’ dan adakalanya bersifat zhanni.
1.Qathi’ yaitu lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya.
2.Zhanni yaitu lafal-lafal yang dalam Alquran mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan.
C. Ushul Fiqih Kaidah Yang Terkait dengan Alquran
Para ulama ushul fiqh, mengemukakan beberapa kaidah ummushul fiqih yang terkait dengan Alquran.Kaidah-kaidah itu diantaranya adalah:
1. Alquran merupakan dasar dan sumber utama hukum islam, sehingga seluruh sumber hukum atau metode istinbat hukum harus mengacu kepada kaidah umum yang dikandung Alquran.
2.Untuk memahami kandungan Alquran, mujtahid harus mengetahui secara baik sebab-sebab diturunkannya Alquran (asbab al-nuzul).[1]
3.Dalam memahami kandungan Alquran, mujtahid juga dituntut untuk memahami secara baik adat kebiasaan orang Arab, baik yang berkaitan dengan perkataan maupun perbuatan.
2) As-Sunnah
a. Pengertian As-sunnah
As-Sunnah menurut bahasa berarti “perilaku seseorang tertentu , baik perilaku yang baik atau buruk.” Sedangkan menurut istilah ushul fiqih sunnah Rasullah seperti yang dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-khatib (Guru besar Hadis Universitas Damascus) berarti “segala perilaku Rasullah yang berhubungan dengan hukum , baik berupa ucapan (sunnah Qauliyah), atau perbuatan (sunnah Fi’iliyah), atau pengakuan (sunnah Taqririyah).”
b. Dalil Keabsahan As-Sunnah Sebagai Sumber Hukum
Alquran memerintahkan kaum muslimin untuk menaati Rasullah seperti dalam ayat: “Hai orang-orang beriman , taatilah Allah dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu , maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan rasul (sunnahnya). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih akibatnya .” (An-Nisa:59)
Selain ayat tersebut ada juga ayat yang menjelaskan bahwa pada diri Rasullah terdapat keteladanan yang baik (QS. Al-Ahzab: 21), bahakan dalam ayat lain Allah memuji Rasullah sebagai seorang yang Agung akhlaknya (QS. Al-Qalam: 4). Selain itu terdapat juga dalam Qs. An-Nisa:65 dan 80, dan QS. An- Nahl: 44.
Ayat-ayat diatas secara tegas menunjukkan wajibnya mengikuti Rasullah yang tidak lain adalah mengikuti sunnah-sunnahnya . Berdsasarkan beberapa ayat tersebut , para sahabat semasa hidup Nabi dan setelah wafatnya telah sepakat atas jeharusan menjadikan sunnah Rasullah sebagai sumber hukum.
c. Pembagian As-Sunnah atau Hadis
Sunnah atau hadis dari segi sanadnya atau periwayatannya dalam kajian ushul fiqih dibagi menjadi dua macam, yaitu: hadis mutawatir dan hadis ahad.
d. Fungsi Sunnah Terhadap Ayat-ayat Hukum[2]
Secara umum fungsi sunnah adalah sebagai bayan (penjelasan), atau tabyin (menjelaskan ayat-ayat hukum dalam Alquran (QS. An-Nam1:44)). Ada beberapa fungsi sunnah terhadap Alquran , yaitu:
1. Menjelaskan isi Alquran, antara lain dengan merinci ayat-ayat global
2.Membuat aturan-aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban yang disebutkan pokok-pokoknya di dalam Alquran
3.Menetapkan hukum yang beelum di singgung dalam Alquran.
3. Ra’yu (Ijtihad)
a. Ijma’
a) Pengertian Ijma’
Ijma’ artinya cita-cita, rencana dan kesepakatan. Menurut Imam Ghazali Ijma’ adalah kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.
b) Rukun dan Syarat Ijma’
Rukun Ijma’ menurut Jumhur Ulama yaitu:
1.Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui Ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid
2.Mujtahid yang terlibat dalam pembalasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut
3.Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya
4.Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’[3]
5.Sandaran Ijma ’yaitu Alquran dan Hadis
c) Syarat-syarat Ijma’ Menurut Jumbur Ulama
1. Yang melakukan Ijma’ adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad
2. Kesepakatn muncul dari mujtahid yang bersifat adil
3. Mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.
d) Kedudukan Ijma’
Ijma’ tidak dijadikan hujjah (alasan) dalam menetapkan hukum karena yang menjadi alasan adalah kitab dan sunnah atau Ijma’ yang didasarkan kepada kitab dan sunnah. “Ijma’ tidaklah termasuk dalil yang bisa berdiri sendiri.”
Firman Allah Swt .QS. An-Nisa’ ayat 58 yang artinya: “jika kamu berlainan pendapat dalam suatu masalah, maka hendaklah kamu kembali kepada Allah dan Rasulnya.” Yang dimaksud kembali kepada Allah yaitu berpedoman atau bertitik tolak dalam menetapkan suatu hukum kepada Alquran. Sedangakan yang dimaksud kembali kepada Rasulnya yaitu berdasarkan kepada sunnah Rasul. Dengan pengertian Ijma’ yang dapat menjadi hujjah adalah Ijma’ yang berdasarkan kepada Alquran dan Sunnah.
b.Qiyas
a) Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa artinya perbandingan, yaitu membandingkan suatu kepada yang lain dengan persamaan ilatnya. Sedangkan menurut istilah qias adalah mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari suatu hukum yang telah disebutkan (belum mempunyai ketetapan) kepada hukum yang telah ada atau telah ditetapkan oleh kitab dan sunnah, disebabkan sam illat antara keduanya.
b) Rukun dan Syarat Qias
Para ulama ushul fiqih menetapkan bahwa rukun qias itu ada empat, yaitu: ‘ashl (wadah hukum yang ditetapkan melalui nash atau ijma’), far’u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), ‘illat (motivasi hukum) yang terdapat dan terlibat oleh mujtahid pada pada ‘ashal,dan hukum ‘ashl (hukum yang telah ditentukan oleh nashatau ijma’).
Para ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa setiap rukun qias yang telah diaparkan di atas harus memenuhi syarat-syarat tertentu, sehingga qias dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum . syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
1. Ashl
Syarat-syarat Ashl itu adalah:
a) Hukum Ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dibatalkan
b) Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’
c) ‘Ashl itu bukan merupakan far’u dari ashl lainnya
d) Dalil yang menetapkan ‘illat pada ashl itu adalah dalil khusus
e) Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qias
f) Hukum ashl itu tidak tidak keluar dari kaidah-kaidah qias
2. Hukum al-Ashl
a) Tidak bersifat khusus
b) Hukum al- Ashl itu tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qias
c) Tidak ada nash
d) Hukum al-Ashl itu lebih dahulu disyariatkan dari far’u.
3. Far’u
a) ‘Illatnya sama dengan ‘illatnya yang ada pada ashl
b) Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qias
c) Hukum far’u tidak mendahului hukum ashl
Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u itu
4. ‘Illat
‘Illat mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum
a) ‘Illat dapat diukur dan berlaku untuk semua orang
b) ‘Illat itu jelas,nyata,dan bisa ditangkap oleh panca indera manusia
c) ‘Illat merupakan sifat yang sesuai dengan hukum
d) ‘Illat itu tidak bertentangan dengan nash atau ijma
e) ‘Illat itu bersifat utuh dan berlaku secara timbal balik
f) ‘Illat itu tidak datang belakangan dari hukum ashl
g) ‘Illat itu bisa diterapkan pada kasus hukum lain.
c. Kedudukan Qias
Menurut Jumhur Ulama, bahwa qias adalah hukum syara’ yang dapat menjadi hujjah dalam menetapkan suatu hukum dengan alasan :
“Maka menjadi pandangan bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. Al-Hasyr:2)
Kalimat yang menunjukkan qias dalam ayat ini berarti membandingkan antar hukum yang tidak disebutkan dengan hukum yang telah ada ketentuannya.
C. ‘Urf
a) pengertian ‘Urf
Kata ‘Urf secara etimologi berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima olh akal sehat. Sedangkan secara terminologi seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidin:
“ sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.”
b) Macam-macam ‘Urf
‘Urf baik berupa perbuatan maupun berupa perkataan, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, terbagi kepada dua macam:
1).Al-‘Urf al-‘Am (adat kebisaan umum) yaitu adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri disatu masa
2).Al-‘Urf al-Khas (adat kebiasaan khusus) yaitu adat istiadat yang berlaku pada masyarakat atau negeri tertentu .
c) Keabsahan ‘Urf menjadi landasan hukum
Para ulama sepakat menolak ‘urf fasid untuk dijadikan landasan hukum . Menurut hasil penelitian al-Sayyid bahwa mazab yang dikenal banyak menggunakan ‘urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan Maliikyah serta kalangan Hanbaliyah dan Syafi’iyah.
d) Syarat-syarat ‘Urf
Abdul Karim Zaidan menyebutkan bebrapa syarat-syarat ‘urf yaitu:
1) ‘Urf itu harus termasuk ‘urf yang shahih
2) ‘Urf harus bersifat umum
3) ‘Urf harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang yang akan dilandaskan kepada ‘urf itu
4) Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan kehendak ‘urf tersebut.[4]
d. Istishab
a) Pengertian
Kata istishab secara etimologi berarti meminta ikut serta secara terus-menerus . Secara terminologi menurut Abdul Karim Zaidan yaitu: “Menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula aelama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.”
b) Macam-macam Istishab
Muhammad Abu Zahra menyebutkan empat macam-macam istishab sebagai berikut:
1) Istishab al-ibadah al-ishliyah yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal sesuatu yaitu mubah. Contoh : bahwa seluruh hutan ini milik manusia kecuali kalau ada orang yang mempunyai bukti yang kuat sebagai pemiliknya.
2) Istishab al-baraah al-ashliyah yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan bebas taklif sampai ada dalil yang mengubah statusnya itu dan bebas dari utang atau kesalahan sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu
3) Istishab al-hukm yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya. Istishab al-wasf yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang dikketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya.
e. Syar’ru Man Qablana
Ialah syariat atau ajaran-ajaran nabi sebelum islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim,Nabi Musa,Nabi Isa.
f.Mazhab Shahabi
Mazhab Shahabi ialah pendapat sahabat Rasullah Saw. Tentang suatu kasus diamana hukum nya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alquran dan sunnah. Sedangkan sahabat Rasullah adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul bersama rasullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari rasullah.[5]
---------------
PENUTUP
A.KesimpulanSumber berarti rujukan utama dalam menetapkan hukum islam, yaitu Alquran dan Sunnah. Sedangkan dalil yaitu suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya qathi’ (pasti) maupun Zhanni (relative).
Sumber dan dalil hukum-hukum islam yaitu meliputi Alquran dan Sunnah Rasul. Alquran adalah kalam Allah yang mukjz , diturunkan kepada Nabi dan Rasul penghabisan dengan perantaraan Malaikat terpecaya, Jibril, tertulis dalam Mushab yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah , yangdimulaibdari surah Al-Fatihah dan di akhiri dengan surat An-Nas. Sedangkan Sunnah Rasul adalah segala perilaku Rasullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (sunnah Qauliyyah), perbuatan (sunnah fi’liyah), atau pengakuan (sunnah Taqririyah).
Dalil dan metode penggunaan dalil yaitu ijma, qias, ‘urf, istishab, syar’u man qablana, dan mazhab shahabi. Ijma adalah kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu maslah agama. Qias yaitu mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang telah disebutkan (belum mempunyai ketetapan ) kepada hukum yang telah ada atau telah ditetepkan oleh kitab dan sunnah, disebabkan sama ‘illat antara keduanya (asal dan furu’).
‘Urf adalah sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dngan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan. Perbedaan ‘urf dengan adat yaitu ‘urf merupakan mayoritas kebiasaan banyak orang sedangkan adat muncul karena adanya kebiasaan pribadi. Istishab yakni menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.
-------------------
DAFTAR PUSTAKA
Shodiqin Ali, 2006. Ushul Fiqih. Jakarta Kencana.
Bakry, Nazar. 1996. Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Effend, H. Satria dan M. Zein. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana.
Haroen, H. Nasrun. 1996. Ushul Fiqih. Jakarta: PT LogosWacana Ilmu.
Rohayana, Ade Dedi. 2005. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan: STAIN Press.
--------------
Footnote
--------------
[1] Satria Effend dan M. Zein, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 112-120
[2] Ali Sodiqhin, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 11- 17.
[3] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih (Pekalongan: STAIN Press, 2005), hlm. 65-66.
[4] Nazar, Bakry, Ushul Fiqih (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.124-130.
[5] Nasrun, Haroen, Ushul Fiqih (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu,1996), hlm. 165.
No comments:
Post a Comment