TAFSIR PENDIDIKAN
"ETIKA PENDIDIKAN"
Oleh
RAHMAT NUGRAHA NOVRIANDI (1611123)
YUNI ASTARI (1611135)
Jurusan / Prodi : Tarbiyah / PAI / II D
"ETIKA PENDIDIKAN"
Oleh
RAHMAT NUGRAHA NOVRIANDI (1611123)
YUNI ASTARI (1611135)
Jurusan / Prodi : Tarbiyah / PAI / II D
Dosen Pengampu :
MISBAHUL MUNIR, M.Hum
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )
SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK
BANGKA BELITUNG
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )
SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK
BANGKA BELITUNG
2017/2018
------------------------
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Etika Pendidikan dalam arti luas memiliki tujuan menciptakan generasi yang emansipatoris, terbebas dari belenggu keterbelakangan serta berbagai problem-problem sosial dalam masyarakat yang dapat menyebabkan terhambatnya kesejahteraan bersama. Dikarenakan hal tersebut maka diperlukan adanya suatu sistem kenegaraan atau sistem poliltik yang mengatur pendidikan tersebut sesuai dengan tujuan yang telah terjabarkan diatas.
Tujuan pendidikan menciptakan generasi yang cerdas, namun juga memiliki etika (moral) yang dapat membantunya dalam bersosialisasi dalam masyarakat, karena itulah pendidikan secara idealnya bersumber atas landasan lokal (lingkungan dan situasi sekarang) berkaitan dengan kebutuhan masyarakatnya dan memperhitungkan motif-motif sosial ekonomi, kultur dan politis yang terdapat pada situasi tersebut. Sehingga dapat mempersiapkan individu untuk menghadapi masa-masa yang akan terus berubah kedepannya.
Dalam permasalahan diatas maka diangap perlu untuk membahas etika pendidikan agar ketika kita menjadi insan berpendidikan dapat diterima oleh masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian Etika ?
2. Bagaimana pengertian pendidikan ?
3. Bagaimana pengertian Etika pendidikan ?
4. Bagaimana ruang lingkup Etika pendidikan ?
5. Bagaimana obyek Etika pendidikan ?
6. Bagaimana Kontekstual Ayat ?
C. .Tujuan
Agar mahasiswa dapat lebih memahami tentang pengertian, ruang lingkup dan obyek kajian Etika Pendidikan.
------------------
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika
Pendidikan Istilah etika berasal dari bahasa yunani kuno, kata yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa, kebiasaan, adat, akhlaq, watak, perasaan, cara berfikir. Dala bentuk jamak (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan.[1]
Sedangkan Etika menurut para ahli sebagai berikut (Abuddin, 2000: 8889):
1. Ahmad Amin berpendapat, bahwa etika merupakan ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.
2. Soegarda Poerbakawatja mengartikan etika sebagai filsafat nilai, kesusilaan tentang baik buruk, serta berusaha mempelajari nilai-nilai dan merupakan juga pengatahuan tentang nilai-nilai itu sendiri.
3. Ki Hajar Dewantara mengartikan etika merupakan ilmu yang mempelajari soal kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup manusia semaunya, teristimewa yang mengenai gerak gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.
Etika adalah ilmu yang membahas dan mengkaji secara kritis persoalan benar dan salah secara moral tentang bagaiman harus bertindak dalam situasi konkrit, etika berupa refleksi kritis untuk menentukan pilihan, sikap dan bertindak secara benar ketika terjadi dilema dalam menentukan kegardaan moral yang sama-sama sah dalam kehidupan. Sedangkan moral bukanlah ilmu untuk menelaah tetapi ia menjadi obyek dari etika, ketika etika berfungsi sebagai ilmu yang menelah.
B. Pengertian Pendidikan
Makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai nilai di dalam masyarakat dan kebudayaaan, dengan demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat, didalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan. Karena itu sering di nyatakan pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia. Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu usaha manusia melestarikan hidupnya.
Istilah pendidikan ini menurut carter V. Good dalam “Dictionary of Education “ di jelaskan sebagai berikut:
1. Seni praktek atau profesi sebagai pengajar (pengajaran).
2. Ilmu yang sistematis atau pengajaran yang berhubungan dengan prinsip-prinsip dan metode-metode pengajaran pengawasan dan bimbingan murid; dalam istilah luas digantikan dengan istilah pendidikan.[2]
Menurut Prof. Lodge dalam buku “philosophy of education” menyatakan bahwa perkataan “pendidikan” dipkai kadang-kadang dalam arti yang lebih sempit. Dalam pengatian yang lebih luas, semua pengalaman dapat di artikan sebagai pendidikan seorang anak mendidik orang tuanya seperti halnya pula seorang murid mendidik gurunya, bahkan seekor anjing mendidik tuannya.
Segala sesuatu yang kita katakana, pikiran atau kerjakan mendidik kita tidak berbeda dengan apa yang dikatakan atau dilakukan sesuatu kepada kita, baik dari benda benda hidup maupun dari benda benda mati. Dalam pengertian yang lebih luas ini hidup adalah pendidikan dan pendidikan adalah hidup.
Sedangkan pengertian yang lebih sempit pendidikan dibatasi dengan fungsi tertentu didalam masyarakat yang terdiri dari penyerahan adat istiadat (tradisi) dengan latar belakang sosialnya, pandangan hidup masyarakat itu kepada warga masyarakat generasi berikutnya dan demikian seterusnya.
Dalam pengertian yang lebih sempit ini, pendidikan berarti, bahwa prakteknya identik dengan “sekolah” yaitu pengajaran formal dalam kondisi kondisi yang diatur. [3]
C. Pengertian Etika Pendidikan
Etika pendidikan adalah suatu poses pendidikan berjalan sesuai etika di masyarakat, sebab ketika suatu pendidikan berbeda dengan sistem yang berlaku di masyarakat, maka pendidikan tersebut tidak akan bisa berkembang bahkan dijauhi oleh masyarakat dan akhirnya akan kehilangan eksistensinya.
Antara etika dan pendidikan itu sangatlah erat dikarenakan etika itu mengakaji bagaimana cara pembelajaran yang benar sedangkan pendidikan adalah usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai nilai di dalam masyarakat dan kebudayaaan, disini jelas disebutkan ketika seseorang ingin memiliki pendidikan maka orang tersebut harus memiliki etika yang baik agar dapat diterima oleh masyarakat.
D. Ruang Lingkup Etika Pendidikan
Menurut Mohd.Nasir Ibn Omar, lapangan kajian filsafat moral (etika) pada masa itu berkisar pada persoalan-persoalan: sifat-sifat bajik dan kebhagiaan jiwa, tiga daya jiwa dan pengaruhnya pada perilaku, kontrol jiwa atau penyucian jiwa melalui ilmu pengetahuan, disiplin dan hubungannyaa dengan masyarakat sehingga jiwa terbebas dari segala kejahatan, mencapai kesempurnaan dan kabahagiaan yang tertinggi.[4]
Ruang lingkup etika pendidikan tidak memberikan arahan yang khusus atau pedomaan yang tegas terhadap pokok-pokok bahasannya, tetapi secara umum ruang lingkup etika adalah sebagai berikut :
1. Mengenal tentang tingkah laku manusia.
Islam sebagai gejala sosial, pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiolagi agama. Pada zaman dahulu sosiologi agama mempelajari hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat Masyarakat mempengaruhi agama, dan agama mempengaruhi masyarakat. Belakangan sosiologi agama mempelajari bukan soal hubungan timbal balik, melainkan lebih kepada pengaruh agama terhadap tingkah laku masyarakat: bagaimana Agama sebagai sistem nilai yang mempengaruhi tingkah laku masyarakat. Bagaimanapun juga, ada juga pengaruh masyarakat terhadap pemikiran keagamaan. Orang tentu sepakat bahwa lahirnya teologi Syiah, Khawarij, Ahli Sunnah wal Jamaah sebagai produk pertikaian politik. Tauhidnya memang asli dan satu, tetapi anggapan bahwa Ali sebagai imam dan semacamnya adalah produk perbedaan pandangan politik. Jadi pergeseran masyarakat dapat mempengaruhi pemikiran teologi atau keagamaan.[5]
2. Cara-cara menghukum, menilai baik dan buruknya suatu pengajaran atau pekerjaan.
3. Etika menyelidiki faktor-faktor penting yang mencetak, mempengaruhi dan mendorong akhirnya tingkah laku manusia, meliputi faktor manusia itu sendiri, fitrahnya atau nalurinya, adat kebisaanya, lingkungannya, kehendak, cita-citanya, suara hatinya, motif yang mendorongnya, perbuatan dan masalah pendidikan.
4. Etika menerangkan mana yang baik dan mana yang buruk. Menurut ajaran islam etika yang baik itu harus bersumber pada al Qur’an dan hadits Nabi
5. Etika menegaskan arti dan tujuan hidup yang sebenarnya, sehingga dapatlah manusia terangsang secara aktif mengerjakan kebaikan dan menjauhkan segala kelakuan yang buruk dan tercela.
E. Obyek Etika Pendidikan.
Obyek Etika Pendidikan adalah setiap tingkah laku atau perbuatan manusia yang berkaitan dengan norma yang belaku di masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwasannya tingkah laku manusia itu, baik yang dapat diamati secara langsung maupun tidak, dapat dijadikan sebagai bahan tinjauan, tempat penilaian terhadap norma yang berlaku di masyarakat. Perbuatan menjadi obyek ketika etika mencoba atau menerapkan teori nilai.
Perpaduan antara nilai dengan perbuatan sebagai pelaksanaannya menghasilkan sesuatu yang disebut moral atau kesusilaan. Perbuatan yang dapat dihubungkan dengan nilai etis adalah:
1. Perbuatan oleh diri sendiri baik dalam keadaan sadar maupun tidak.
2. Perbuatan oleh pengaruh orang lain bisa berupa saran, anjuran, nasehat, tekanan, paksaan, peringatan, ataupun ancaman.
Menurut pendapat Dr. Achmad Amin yang mengemukakan bahwa perbuatan yang dimaksud sebagai obyek etika ialah perbuatan sadar baik oleh diri sendiri atau pengaruh orang lain yang dilandasi oleh kehendak bebas dan disertai niat dalam batin.
F. Kontekstualiasi Ayat Etika Pendidikan
Perbedaan Pendapat dalam Beragama (www.kompasiana.com,24 Juni 2015 ) Perbedaan pendapat adalah hal biasa selama diniatkan untuk mencari kebenaran bukan mencari 'pembenaran'. Hal yang sering terjadi justeru kita lebih sering mencari 'pembenaran' dengan memvonis sesuatu tanpa mengajukan fakta sebagai penguat pandangan kita. Perbedaan pendapat seperti ini seringkali menimbulkan perlawanan dari pihak lain karena lebih mendahulukan vonis dari pada fakta.
Parahnya lagi setelah mendapat kecaman sana-sini, kita malah menuntut argumen balik dari orang lain padahal kita sendiri tidak mengawalinya dengan argumen yang valid. Perilaku seperti ini tak ubahnya seorang polisi yang menyeret seorang ibu hamil 8 bulan ke penjara dan ketika si ibu melawan mati-matian malah si polisi balik bertanya, “ Pokoknya anda ditangkap karena menelan helm.” Berbeda pendapat adalah kemestian, tetapi asal beda adalah kejahilan. Menyangkut perbedaan pendapat dalam isyu beragama, kalau kita mau menoleh kebelakang, Orang-orang terdahulu dengan keluasan ilmunya sudah memberikan pijakan jelas sebelum menentukan vonis suatu perbuatan.
Maka sudah selayaknya jika dalam mengajukan suatu pendapat atau argumen kita mengutip pandangan mereka dan memperkayanya dengan penafsiran menurut kemampuan kita sendiri. Dalam memperkaya rujukan tadi memang sedapat mungkin dihindari pandangan yang bias dan tidak memiliki dasar yang jelas. Lain halnya jika kemampuan kita secara akademik setara atau melebihi dari pendapat yang kita kutip tadi.
Dengan keluasan ilmu agama yang dimaksud, barulah kita dibebaskan untuk melontarkan suatu pandangan. Tetapi jika pengetahuan yang kita miliki hanya secuil pemahaman dari mereka yang kita rujuk, maka sudah selayaknya kita menghindari prinsip “asal beda” dan menahan diri untuk mempertontonkan kejahilan.
Belajar Dari Kasus "Selamat Natal" Contoh kasus “asal beda” dapat kita temukan pada perdebatan berulang tiap tahun menyangkut boleh tidaknya seorang muslim mengucapkan selamat natal pada saudara atau kenalan mereka yang beragama Nasrani. Dalam kasus ini ada dua pendapat yang sama-sama memiliki alasan yang kuat.
Pendapat pertama diwakili oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan para pengikutnya seperti Syeikh Ibn Baaz yang tegas mengatakan mengucapkan selamat natal tadi hukumya haram karena dianggap tasyabbuh (menyerupai) perbuatan mereka dan menyepelekan aqidah. Pendapat kedua diwakili oleh ulama kontemporer kelahiran Qatar yang juga menjadi ketua persatuan ulama se-dunia yakni Syeikh Yusuf al Qaradhawi.
Dengan keluasan ilmunya Yusuf al Qaradhawi berani mengkoreksi pendapat pendahulunya tadi dengan membolehkan seorang muslim mengucapkan selamat natal pada Nasrani apabila apabila mereka (orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khsusus antara dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti : kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya.
Dalam hal ini Yusuf al Qaradhawi menggunakan dua hujjah sekaligus. Yang pertama, perubahan kondisi global dimana umat Islam adalah bagian dari warga dunia yang majemuk. Yang kedua berdasarkan penafsirannya terhadap Al-Qur’an Surat Al-Mumtahanah ayat 8 yang memerintahkan kita berbuat adil karena Allah menyukai perbuatan tersebut.
Dimata Yusuf al Qaradhawi, kenapa kita tidak dibolehkan mengucapkan selamat Natal pada mereka sementara kita sendiri tidak melarang mereka mengucapkan selamat Idul fitri pada kita? Bukanlah Allah menyuruh kita berbuat adil dan membalas penghormatan dari orang lain dengan cara yang lebih baik sebagaimana tersurat dalam An Nissaa ayat 86? Pendapat Yusuf al Qaradhawi memang berbeda dengan zamannya.
Namun bila kita simak tentu pendapat tersebut juga cukup kuat dan jelas karena memiliki dasar yang kuat. Dari kedua pendapat di atas kita kemudian diberi keleluasaan untuk memilih dan memilah mana yang lebih membuat kita nyaman. Jika saya kemudian memilih pendapat yang kedua dalam kasus ini, anda yang memilih pendapat pertama tetap menjadi manusia terhormat selama anda menghormati pilihan mereka yang berbeda dengan anda.
Tetapi jika ada yangmempertentangkan kedua pendapat tadi dan memiliki pendapat terbaru, maka sah-sah saja mengadopsi pandangan baru tersebut selama orang yang diikuti tadi tingkat keilmuannya sama atau bahkan melebihi keluasan ilmu dari pendahulunya.
Tetapi jika lebih rendah dari itu, sudah selayaknya kita tidak sembarangan melontarkan suatu pendapat yang jahil dalam beragama. Pendapat ahli menjadi rujukan, pendapat jahil mesti ditolak Namun yang sering terjadi pada masa sekarang, seseorang cenderung menghukumi suatu perbuatan tersebut halal atau haram, seperti kasus natal tadi, dengan menggunakan akal pikiran sendiri tanpa mau mengutip argumen dua pihak yang berseberangan di atas.
Perbedaan pendapat tanpa bersandar pada ahlinya ini sering menimbulkan fitnah dan perpecahan karena memperturutkan hawa nafsu dan tidak menyadari sempitnya ilmu yang dimiliki. Contoh pentingnya kita mengikuti pandangan ahlinya dalam suatu persoalan dapat kita temukan saat hakim ingin memutuskan perkara-perkara pelik di pengadilan. Tak jarang seorang hakim menghadirkan saksi ahli dalam kasus-kasus tertentu. Akan sangat berbahaya bagi si hakim menjatuhkan vonis, katakanlah penginaan terhadap suatu agama, sedangkan hakim sendiri tidak mengetahui batasan-batasannya.
Kehadiran saksi ahli inilah yang membuat keputusan seorang hakim dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Karena itu sangat keliru kalau seorang awam mengajak debat ahli agama yang luas ilmunya menyangkut ketuhahan. Lebih lucu lagi jika yang memperdebatkan suatu agama tadi justeru berasal dari pemeluk agama lain. Sudah semestinya pendapat mereka ini, ibarat di pengadilan tadi, tertolak dengan sendirinya karena termasuk bukan ahlinya. Bahkan hakim mustahil juga menghadirkannya sebagai saksi ahli.
Perbedaan yang mengandung pencerahan dan mengundang perpecahan Terakhir dalam artikel ini, saya sependapat dinamika perbedaan dalam hal apa saja mesti dihargai dan dijunjung tinggi. Kita boleh beda dan berdebat soal pilihan partai,gubernur, capres dan sebagainya. Semua punya hak untuk menyuarakan pilihan secara bebas dan bertanggungjawab. Tetapi Jika sudah menyangkut perkara akhirat (agama) sudah selayaknya kita membatasi diri dan berhati-hati dalam melontarkan suatu pendapat. Apalagi menulis di dunia maya. Salah sedikit pandangan yang tak lazim bukannya mengundang pencerahan bagi orang lain tetapi justeru mengundang perpecahan bagi semua orang.
Etika membicarakan tentang kebiasaan (perbuatan) yang dilakukan oleh manusia. Untuk itulah Islam pada esensinya memandang manusia dan kemanusiaan secara sangat positif dan optimistis. Menurut Islam, manusia berasal dari satu asal yang sama: keturunan Adam dan Hawa. Akan tetapi, perkembangan yang terjadi menjadikan manusia bersuku-suku, berkaum-kaum atau berbangsa-bangsa lengkap dengan kebudayaan dan peradaban khas masing-masing.
Semua perbedaan ini selanjutnya mendorong mereka untuk kenal-mengenal dan menumbuhkan apresiasi serta respek satu sama lain. Perbedaan di antara umat manusia, dalam pandangan Islam, bukanlah karena warna kulit dan bangsa, tetapi hanyalah tergantung pada tingkat ketakwaan masing masing
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesunggguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal [6]
Inilah yang menjadi dasar perspektif Islam tentang “kesatuan umat manusia”, yang pada gilirannya akan mendorong berkembangnya solidaritas antar manusia (ukhuwah insaniyyah atau ukhuwah basyariyyah).[7]
M. Quraish Shihab menafsirkan masalah ini dalam Tafsir Al-Misbah bahwa, berbicara mengenai hubungan atau interaksi kaum muslim dan non-muslim. Quraish Shihab menyimpulkan, bahwa pada dasarnya Islam tidak melarang kaum muslim untuk berbuat baik dan menjalin hubungan kepada kaum non-muslim.
Justru Islam menganjurkan untuk selalu berbuat baik dan bersikap adil tanpa pandang bulu. Akan tetapi, proses interaksi ini dibatasi dalam wilayah, ketika non-muslim memerangi (bertindak kejahatan) dalam urusan agama dan mengusir (memusuhi) dari suatu negeri (kampung halaman)
Pendapat ini diperkuat oleh Hamka dalam Tafsir Al-Azhar yang menerangkan bahwa, Allah tidak sekali-kali melarang seorang muslim untuk berbuat baik, berlaku jujur dan adil serta bergaul dengan mereka. Baik non-muslim Yahudi, Nashrani ataupun musyrikun, selama mereka tidak memerangi, tidak memusuhi, atau mengusir dari kampung halaman kaum muslim. Dengan ini hendaknya disisihkan antara perbedaan kepercayaan dengan pergaulan sehari-hari.
Hamka menambahkan bahwa ahli-ahli tafsir menyatakan bahwa ayat yang secara umum berbicara mengenai hubungan sosial dengan non-muslim adalah “muhkamah”, artinya berlaku untuk selamalamanya, tidak dimansukhkan. Sehingga dalam segala zaman selalu dituntut untuk berbuat baik dan bersikap adil serta jujur kepada orang yang tidak memusuhi dan tidak bertindak mengusirkaum muslim dari kampung halamannya. Oleh karena itu, kaum muslim diwajibkan untuk selalu menunjukan budi Islam yang tinggi.[8]
Dari beberapa keterangan dari para mufasir, menunjukan bahwa Islam sejatinya dituntut untuk berlaku adil tidak hanya kepada umat Islam saja, melainkan juga kepada yang lain. Islam juga membela umat lain sebagaimana membela umat Islam. Rasul mencontohkan pada masa pemerintahannya dengan memperlakukan hukum yang sama antara kaum muslim dan non-muslim.
Pada saat yang bersamaan, pemerintahan Nabi menghormati keyakinan-keyakinan mereka. Nabi tidak menjatuhkan hukuman secara Islam atas mereka tentang apa yang tidak mereka haramkan, dan mereka tidak boleh dipanggil ke pengadilan pada hari-hari besar yang mereka yakini dan rayakan. Demikianlah Rasul menghormati, menoleransi dan menghargai non-muslim dalam menjalankan keyakinan dan ibadah.
Islam dan Al-Qur’an, dengan alasan-alasan yang telah dikemukakan di awal, menunjukan bahwa secara substansial sama sekali tidak mengajarkan pendeskreditan atas komunitas agama diluar Islam, tetapi justru memperkenalkan dan mengajarkan kepada pemeluknya ajaran toleransi dalam berhubungan antara satu komunitas agama dengan yang lainnya.
Sehingga secara sosiologis akan memberikan peluang terciptanya sikap menerima kehadiran dan mengakui eksistensi komunitas agama lain untuk membangun kerjasama antarumat beragama dalam mencapai kemaslahatan kehidupan manusia.
Dorongan ayat tersebut membuat masyarakat muslim, dalam kasus antara Islam dan non- Islam, membentuk sikap toleran dan bahkan mau mengakui eksistensi dari agama-agama di luarnya. Hal ini menunjukan bahwa, konsep kemanusiaan (hubungan manusia) tidak bisa dirampas begitu saja oleh keberagamaan yang berbeda-beda. Karena Al-Qur’an diturunkan sebagai hudan li annass (petunjuk bagi manusia) dan memanusiakan manusia. Jadi, kesimpulan yang dapat diambil ialah, bagaimana merekonstruksi etika hidup sesama manusia tanpa memandang perbedaan agama, suku, ras, golongan dan lainnya.
Dalam konteks berhubungan dengan sesama manusia (sosialkemasyarakatan), agama tidak bisa membatasi ruang gerak manusia. Jika agama ikut campur dalam hal ini, hanya akan menimbulkan penyekat bagi manusia. Oleh karena itu, Al-Qur’an tidak pernah membatasi manusia dalam bermasyarakat walaupun berbeda pandangan dan agama. Sehingga pemahaman akan multikulturalisme bukan sekedar menghormati perbedaan, tetapi perbedaan (the others) harus ditempatkan sebagai basis epistemologi yang lebih penting dari pada persamaan.
Risalah kenabian Muhammad SAW terfokus pada pesan rahmat (cinta kasih) bagi seluruh dimensi alam kehidupan, inilah yang menjadi doktrin Islam sebagai rahmatan lil alamin. Sementara pesona karismatik intelektual Al-Qur’an terletak pada keberkahan sosialnya bagi seluruh umat manusia. Makna penting akan terminologi neo-religi, neo-spiritualisme, dan neo-humanisme, yang menunjukan terjadinya sintesis baru dalam hal agama, kemanusiaan, dan ilmu.
Suatu kesatuan yang mencerminkan kesatuan semesta dan titik balik perdaban dalam spiritualisme baru yang menyatukan kembali dunia material dan dunia spiritual. Format baru ini menjadi format keberagamaan dalam suatu neo-humanisme yang boleh jadi akan menjadi sebuah alternatif perdaban yang mampu mengatasi semua konflik sosial, ekonomi, politik, dan budaya.[9]
Tujuan dan pesan Al-Qur’an adalah manusia dituntut untuk selalu mengaktualkan kembali Islam autentik sebagaimana Al-Qur’an diwahyukan. Ajaran Islam didasari suatu peran etik dan tujuan atau maksud hakiki yang bentuknya bisa beragam dan berubah. Inilah doktrin shâlih li kulli zamân wa makân, sebagai agenda ajaran universal yang berlaku di semua tempat dan era sejarah.
Sehingga keragaman merupakan keniscayaan penerapan ajaran itu sesuai tempat dan zaman yang berbeda-beda. Dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip etik dan profetik serta maksud universal, maka penafsiran Islam dipandang tidak pernah selesai dan harus terus menerus dilakukan.[10] Ajaran Islam tentang rahmah li al-âlamîn (global) bagi etika kemanusiaan (al-akhlâq alkarîmah) hanya akan berfungsi efektif bagi perdamaian dunia, apabila ia ditafsir bagi kepentingan kemanusiaan universal. Tafsir keagamaan tentang kesalehan perlu diletakkan dalam kerangka sejarah yang dinamis bagi kepentingan kemanusiaan universal.[11]
Pemahaman terhadap makna teks Al-Qur’an merupakan suatu refleksi pergumulan keberagamaan dengan realitas sosiologis yang terus berkembang. Dengan demikian, usaha mengembangkan gagasan keagamaan yang benarbenar mampu bergumul secara dialogis dengan berbagai masalah kemanusiaan dalam sejarah merupakan visi intelektual Al-Qur’an.
Tesis Samuel P. Huntington, bahwa agama paling tidak memiliki peran penting dalam memobilisasi kehidupan manusia, namun agama di masa depan adalah agama yang mampu bergumul dalam sejarah sebagai basis lahirnya peradaban yang akan berfungsi sebagai paradigma hubungan global.[12]
Sebagaimana pendapat Hamim Ilyas, bahwa ber- Islam itu beragama dengan membangun peradaban, tidak sekedar membangun tradisi, apalagi hanya mempertahankan tradisi (stagnan).
-----------------
Footnote
-----------------
[1] K. bertens, Etika, (Jakarta :PT Gramedia pustaka utama 2001), hal 4
[2] Tim dosen FIP-IKIP Malang, pengantar dasar-dasar kependidikan (Surabaya: usaha nasional 1988) hal 2-3
[3] Kolomi, Malang, pengantar dasar-dasar kependidikan (Surabaya: usaha nasional 1988) hal 5-6
[4] Amril M.,Etika Islam (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2002), hlm 2
[5] Lihat M Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h.16 .
[6] (QS al-Hujurat [49]: 13).
[7] Azyumardi Azra dalam Weina Sairin, ed., Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa; Butir-butirPemikiran., hlm.92
[8] Hamka, Tafsir Al-Azhar; Juz 28, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), hlm. 105-106.
[9] Abdul Munir Mulkhan, Manusia Al-Quran (Yogyakarta: Impulse dan Kanisius, 2011), hlm. 23.
[10] Ibid ..., hlm. 35.
[11] Ibid ..., hlm. 69.
[12] Ibid..., hlm. 112.
-----------------
[1] K. bertens, Etika, (Jakarta :PT Gramedia pustaka utama 2001), hal 4
[2] Tim dosen FIP-IKIP Malang, pengantar dasar-dasar kependidikan (Surabaya: usaha nasional 1988) hal 2-3
[3] Kolomi, Malang, pengantar dasar-dasar kependidikan (Surabaya: usaha nasional 1988) hal 5-6
[4] Amril M.,Etika Islam (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2002), hlm 2
[5] Lihat M Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h.16 .
[6] (QS al-Hujurat [49]: 13).
[7] Azyumardi Azra dalam Weina Sairin, ed., Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa; Butir-butirPemikiran., hlm.92
[8] Hamka, Tafsir Al-Azhar; Juz 28, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), hlm. 105-106.
[9] Abdul Munir Mulkhan, Manusia Al-Quran (Yogyakarta: Impulse dan Kanisius, 2011), hlm. 23.
[10] Ibid ..., hlm. 35.
[11] Ibid ..., hlm. 69.
[12] Ibid..., hlm. 112.
No comments:
Post a Comment