Friday, July 21, 2017

MAKALAH EPISTIMOLOGI FALSIFIKASI KARL R. POPPER

MAKALAH

EPISTIMOLOGI FALSIFIKASI KARL R. POPPER

Dosen Pengampu : Dr. Zafrulkan M.S.I.


KELOMPOK 7

Disusun Oleh :

Reza Daman Huri : 1611124

Rahmat Nugraha : 1611123

Lebri Seftiandi : 1611117

Siti Hajar : 1611128

Jurusan / Prodi : Tarbiyah / PAI / II D


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )

SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK

BANGKA BELITUNG

2017/2018

--------------------
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Karl Raimund Popper lahir di Wina pada tanggal 21 Juli 1902 dari keluarga Yahudi Protestan. Ayahnya, Dr. Simon S.C. Popper, seorang pengacara yang meminati filsafat dan masalah social. Masa remajanya di kota Wina merupakan masa yang cukup menentukan arah perkembangan pribadi dan intelektualnya. Masa pendidikan dilalui selama periode tahun 1920-an di kota tersebut. Popper memulai pendidikan ilmiah formalnya sebagai murid privat. Bidang-bidang pelajarannya cukup luas, namun Popper lebih memfokuskan perhatiannya pada bidang matematika dan fisika teoretis. Pada tahun 1925, Popper mengikuti kursus lanjutan di Institut Pedagogi, cabang dari Universitas Wina dan pada masa itu pula ia bertemu dengan calon istrinya.

Pada tahun 1928, Popper meraih gelar Doktor dengan judul disertasi : Masalah Psikologi dalam Psikologi Pemikiran. Popper merasa tidak puas dengan disertasinya dan memilih untuk mempelajari bidang epistemologi yang dipusatkan pada pengembangan teori ilmu pengetahuan. Usahanya ini semakin intentif ketika ia berjumpa dengan positivisme logis dari lingkaran Wina. Popper bukan termasuk dalam lingkaran Wina, sebab dia merupakan kritikus paling tajam terhadap gagasan-gagasan lingkaran Wina.

Popper yang berdarah Yahudi, harus meninggalkan tempat kelahirannya sebab pada waktu itu Jerman di bawa penguasanya Hitler telah menduduki tempat itu. Popper pindah ke Selandia Baru dan mengajar di Universitas Christchurch. Ia pun tidak menetap di sana, sebab pada tahun1945, ia pindah ke Inggris dan mengajar di London School of Economics. Karl Popper menginggal dunia pada tanggal 17 September 1994 di London Selatan akhibat penyakit jantung. Adapun beberapa karya tulisnya yang terbesar antara lain sebagai berikut: The Poverty of Historicism (1945); The Logic of Scientific Discovery (1959); Conjectures and Refutations: The Growt of Scientific Knowledge (1963).

Karl Popper adalah salah satu kritikus yang paling tajam terhadap gagasan lingkaran Wina. Karena lingkaran ini dianggap menjadi mesin yang memproduk dan pengembang aliran neopositivistik, yang pro terhadap metode berfikir induktivistik.

-----------------------

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pokok Pemikiran Karl Raimund Popper

Menurut Popper, metode induktif meninggalkan banyak masalah dalam ilmu pengetahuan, masalah itu apakah menyangkut proses cara memperoleh pengetahuan, ukuran validitas kebenaran, hasil pengetahuannya bersifat subyektif dan lain sebagainya.

Pertama, dalam proses penyelidikan misalnya, kaum induktivis menggunakan observasi dan pengalaman sebagai dasar satu-satunya dalam membuat pernyataan tunggal (singular statemen) dan kemudian hasil pengamatan dan pengalaman pribadi yang belum teruji dapat ditarik sebuah kesimpulan berupa teori, ironinya kebenarannya bersiftat general (berlaku secara umum).Teori-teori ilmiah ditarik dengan cara ketat dari fakta-fakta pengalaman yang diperoleh lewat observasi dan eksperimen. Ilmu didasarkan atas apa yang dapat dilihat, didengar, diraba, dan sebagainya. Pengetahuan akan diterima bila berasal dari sense, expretion, (sensasional impresion, perseptian visual or auditory. Prinsip di atas dipertanyakan oleh Popper terutama volume eksperimen, berapa banyak observasi yang diperlukan untuk memenuhi? Haruslah sebatang logam tertentu dipanasi 10 kali, 100 kali atau seberapa banyak kali sebelum kita dapat menyimpulkan logam selalu memuai bila dipanaskan.

Di sini sebenarnya tingkat kesulitan yang dihadapi oleh kelompok Induktifis, bila mereka mensyaratkan observasi dan eksperimen jadi acuan ilmu pengetahuan. Sanggahnya, penarikan kesimpulan ini sangat berbahaya, sebagaimana Karl Maxs telah membuat teori sejarah dengan ramalan-ramalan/prediksi yang salah tentang masyarakat kelas. Juga contoh lain mereka punya anggapan bahwa semua angsa berwarna putih tanpa memperdulikan angsa yang berwarna lain, Kertas Litmus berubah menjadi merah bila dicelupkan ke dalam cairan tanpa merinci cairan apa yang dapat merubah.[1]

Kedua , tugas bagi ilmu pengetahuan adalah merumuskan hukum-hukum yang bersifat umum dan mutlak. Jika mencari contoh yang sederhana: pernyataan bahwa logam yang dipanaskan akan memuai “merupakan hukum “bagimana hukum ilmiah serupa itu sampai terbentuk, pasti jawabanya bahwa hukum itu dihasilkan oleh suatu proses induktif. Artinya dari sejumlah kasus yang cukup besar (bermacam-macam logam yang memuai setelah dipanaskan), disimpulkan bahwa dalam keadaan yang tertentu gejala yang sama dan dimana-mana akan terjadi. Pendek kata metode ini dijalankan dengan observasi dan eksperimen serta berdasarkan fakta-fakta. Teori ini mendapatkan catatan dari David Home. Ia menyatakan bahwa dari sejumlah fakta berapapun besar jumlahnya, secara logis tidak dapat disimpulkan suatu kebenaran umum. Tidak ada keharusan logis bahwa fakta-fakta yang sampai sekarang selalu berlangsung dengan cara yang sama. Dengan demikian bahwa induksi tidak dapat dibenarkan berdasarkan logika.

Ketiga, Induktifis mengunakan ilmu bantu lain yaitu Logika dan Probabilitas (kemungkinan) selain dasar observasi dan eksperiman untuk mendapatkan justifikasi. Bantuan logika ini dilakukan untuk memperkokoh argumen logis dari cara penarikan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan yang mereka buat. Misalnya argument yang logis yang valid ditandai dengan fakta bahwa apabila premis argumen itu benar, maka kesimpulannya benar, tetapi ternyata tidak demikian. Argumen-argumen induktif tidak merupakan argumen-argumen yang valid secara logis, masalahnya bukanlah apabila premis suatu penyimpulan induktif benar, maka kesimpulannya mesti benar. Bisa saja penyimpulan terjadi penyimpulan argumen induksi salah, sedangkan premisnya benar dan ini terjadi tanpa harus merupakan kontradiksi. Misalnya tentang pernyataan semua gagak adalah hitam. karena sampai hari ini saya telah melakukan observasi terhadap sejumlah besar burung gagak pada variasi yang luas dan telah menyaksikan mereka semua hitam dan berdasarkan fakta. Ini adalah satu penyimpulan induktif yang valid dan sempurna.

Menurut Popper secara premis itu benar, akan tetapi secara logis itu salah, sebab tidak ada jaminan logis bahwa gagak yang saya observasi kemudian tidak ada yang berwana coklat atau merah jambu. Kalau hal ini terbukti mana kesimpulan; semua gagak hitam itu salah.

Jadi penyimpulan induktif awal yang jelas valid karena memenuhi kriteria yang telah dispesifikasi oleh prinsip induksi, dapat membawa ke satu kesimpulan yang salah, sekalipun fakta menunjukkan bahwa semua premisnya benar.

B. Metode Induktif dan Kritik Karl Popper

Salah satu metode ilmiah dalam wacana saintifik adalah metode induksi. Secara historis metode induksi sudah dimulai oleh Aristoteles. Ia menggunakan istlah induksi untuk mengacu ke proses pemikiran diamana akal budi manusia, dengan bertolak dengan pengetahuan tentang hal-hal yang “khusus”, menyimpulkan pengetahuan yang umum.

Metode induksi yang digulirkan Aristoteles inilah yang dinamakan induksi tradisional. Metode induksi tradisional ini dikenal juga dengan nama induction by simple enumerition (induksi melalui penjumlahan sederhana) dan tak dapat diandalkan untuk meraih pengetahuan yang benar.

Namun, pada abad ke 17, Francis Bacon mengkritisi metode deduktif Aristoteles yang menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru. Bagi Bacon, logika logistik tradisional Aristoteles tidak sanggup menghasilkan penemuan-penemuan empiris. Ia mengatakan bahwa logika silogistis tradisional hanya dapat membantu menwujudkan konsekuensi deduktif dari pada yang sebenarnya telah diketahui.

Metode induksi adalah suatu metode atau suatu proses penyelisihan/pelenyapan, dengan adanya sumua sifat, yang tidak termasuk sifat yang tunggal ditiadakan. Tujuan ialah untuk emiliki sebagai sisanya sifat-sifat yang menonjol dan fakta-fakta yang diamati.

Dengan metode ini ia berharap menemukan hukum-hukum yang umun, yang, (dengan pengujian-pengujian dalam keadaan-keadaan yang baru) dapat naik, dari hukm yang masih rendah ke hukum yang lebih tinggi.[2]

C. Problem Demarkasi

Proses pemikiran kreatif-kreatif popper selanjutnya adalah berupa menelisik problem demarkasi dalam wacana saintifik.

Problem demarkasi dirumuskan oleh Popper sebagai problem mengenai bagaimana menemukan sebuah kriteria yang bisa membedakan ilmu-ilmu empiris dari matematika, logika dan system-sistem metafisik. Solusi Popper terhadap induksi ternyata membangkitkan cara pandang yang baru terhadap problem awalnya yakni, problem seputar kriteria demarkasi ilmiah yang tepat.[3]

Kriteria verifiabilitas bukanlah suatu kriteria demarkasi ilmu, melainkan sebagai kriteria kemaknaannya. Bermakna tidaknya suatu pernyataan atau hipotesis ilmiah ditentukan oleh corak empiris positifnya. Logika induktif dan prinsip verifiabilitas mengakibatkan pengetahuan yang bukan ilmiah (metafisika) tidak bermakna sama sekali. Kriteria demarkasi dan logika induktif mengakibatkan terjadinya percampurbauran antara metafisika dan ilmu pengetahuan, yang pada gilirannya dapat mengaburkan kedua-duanya. Hal inilah yang membuat Karl Popper menentang gagasan dari lingkaran Wina dan membuat demarkasi lain dengan kriteria falsifikasi.[4]

Jadi bagi Popper, Problemnya ialah apa yang disebutnya masalah demarkasi (the probloem of demarcation) : Bagaimana kita dapat menarik garis pemisah antara bidang ilmiah dan bidang nonilmiah, antara ilmu pengetahuan dan bukan ilmu pengetahuan? Atas pertayaan itu ia menjawab bahwa suatu teori atau ucapan bersifat ilmiah, kalau terdapat kemungkinan prinsipil untuk menyatakan salahnya.[5]

D. Solusi Popper tentang Problem Demarkasi

Popper hendak merumuskan sebuah kriteria demarkasi antara ilmu dan non ilmu (metafisika). Kriteria demarkasi yang digunakan oleh Popper adalah kriteria falsifiabilitas (kemampuan dan kemungkinan disalahkan atau disangkal). Setiap pernyataan ilmiah pada dasarnya mengandung kemampuan disangkal, jadi ilmu pengetahuan empiris harus bisa diuji secara deduktif dan terbuka kepada kemungkinan falsifikasi empiris. Contoh:

Akan terjadi atau tidak terjadi hujan di sini esok

Akan terjadi hujan di sini esok

Pernyataan (1) tidak bersifat empiris oleh karena tidak dapat disangkal. Sedangkan pernyataan (2) bersifat empiris karena dapat disangkal.

Kriteria demarkasi Popper didasarkan pada suatu asimetri logis antara verifiabilitas dan falsifiabilitas. Pernyataan universal tidak bersumber dari pernyataan tunggal, tetapi sebaliknya bisa bertentangan dengannya. Dengan logia deduktif, maka generalisasi empiris atau pernyataan universal dapat diuji dan disangkal secara empiris, tetapi tidak dapat dibenarkan. Hal ini berarti bahwa hukum-hukum ilmiah pada dasarnya dapat diuji, kendatipun tidak dapat dibenarkan atau dibuktikan secara induktif.[6]

E. Konkulusi: Antara Apresiasi dan Kritik

Dalam diskusi pemikiran filsafat bahasa Saussure di atas, memang hanya menyoroti sekilas serpihan-serpihan konsepnya yang berdiri sendiri tanpa memberi dampak bagi yang lain. Sebagaimana ditekankan Saussure tentang pentingnya mempelajari tindak wicara dengan cara yang tidak terisolasi dari system konvensi yang membuat mereka menjadi berlaku saat ini, sekarang dianggap tidaklah memadai jika mempelajari fakta-fakta kultural dan social secara independen dari system kultural dan social yang membuat mereka berlaku pada suatu saat.

Yang menjadi pokok bahasan adalah masyarakat atau kultur pada satu tahap perkembangan tertentu, bukan tindakan individu manusia masa lalu atau kini. Bila generasi sebelumnya (generasi Sartre) berusaha menemukan landasan (intrinsik) alami mansia masyarakat dalam sejarah (seperti yang dilakukan para ahli linguistik abad ke Sembilan belas dalam mencari unsur-unsur alami bahasa) upaya generasi stukturalis diarahkan pada upaya untuk menunjukan bagaimana hubungan diferensial unsur-unsur yang ada dalam system itu.

Dengan kata lain, telah megenai kehidupan sosio-kutural harus dilihat sebagai yang mensyaratkan diraikannya pada sandi melalui penitikaberatkan pada nilai diferensial, bukan pada ahli substantif yang sudah umum diterima ( yang sering disamkan dengan yang “alami”). Dengan demikian, struktur sebagaimana diilhami oleh teori bahasa Saussure, bisa mengarahkan pada nilai dari unsur-unsur dalam system, atau konteks, dan bukan hanya pada eksistensi fisik atau alami dari unsur-unsur tersebut.

Sekarang menjadi jelas bahwa eksistensi fisik dari suatu entitas itu dirumitkan oleh pengaruh lingkungan linguistic dari kultural. Maka, struktur itu menjadi peringatan bahwa tidak ada social atau kultural (termasuk dari indvidu, tentu saja) yang muncul sebagai suatu unsur pokok “positif” yang berada di luar dan terasing dari unsur-unsur yang lain.[7]

Ketika sebuah makna telah ditetapkan, maka kita harus mencari kekuasaan yang bermain dibaliknya hingga mebekukan tanda pada maknatertentu. Penetapan makna “wanita berada dalam wilayah domestik dan laki-laki berada dalam wilayah publik”, merupakan hasil permainan kuasa budaya patriarki yang menempatkan laki-laki secara superior dibandingkan wanita, Di sisni, struktur bahasa tidak steril seperti dipahami oleh harus strukturalis, melainkan selalu bersifat politis.

Sebuah kritik tajam juga dating dari Jacques Derrida, salah seorang filsuf poststrukturalis. Derrida mengkritisi adanya makna yang jelas dan paten yang dikehendaki yang Pengarang. Namun bagi Derrida, dengan konsep dekonstruksinya, kita tidak mungkin memburu makna seutuhnya dari sebuah teks.

Pemahaman kita selalu dibatasi oleh kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga, yang sewaktu-waktu bisa muncul dari teks yang tersamar dinalik permukaan. Terlepas dari kekurangan-kekurangan yang dimilki oleh strukturalisme Saussure, uniknya hamper sebagian besar tkoh-tokon post-strukturalisme menjadi sebagian prinsip-prinsip filsafat bahasa Saussure sebagai titik tolak mereka dalam membangun kontruksi-kontruksi filosofis dengan lebik kaya makna, dan mereka terbuka terhadap beragam pembacaan-pembacaan baru yang orisinal.

========
Footnote
========

[1]Rizal Mustansyir & Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 118

[2] Dr. Zaprulkan, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016) hal 132-134

[3] K.R. Popper, “The Logic of Scientific Discovery (New York: Basic Books, 1959) hlm 34.

[4] Ibid, hlm 36-37

[5] Dr. Zaprulkan, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016) hal 142-143

[6] Ibid, hlm 35

[7] Dr. Zaprulkan, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016) hal 189-190

No comments:

Post a Comment