Friday, July 21, 2017

USHUL FIQH (MAKALAH) TEMA "HUKUM-HUKUM ISLAM"

MAKALAH

HUKUM-HUKUM ISLAM


Dosen pengampu : Rudini M. Pd. I


Disusun Oleh :

1. AGUS SAPUTRA (1611103)

2. ANGGUN SAFITRI (1611105)


TARBIYAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK

BANGKA BELITUNG

2017


----------------
LATAR BELAKANG

Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna, diciptakan dengan bentuk yang paling sempurna serta diberikan kelebihan akal dan pikiran yang tidak dimliki makhluk Allah lainnya. Kesempurnaan manusia ini, tentunya menuntut sebuah konsekuensi tugas yang diemban oleh manusia yang diciptakan Allah sebagai khalifah dimuka bumi ini. Wujud pengabdian manusia sebagai makhluk kepada khaliqnya tentunya melaksanakan ibadah sesuai syariat yang ditentukan. Ibadah yang benar, tentunya memerlukan sebuah pedoman atau tuntunan agar terhindar dari kekeliruan.

Sebagai umat Islam, tunanan dalam melaksanakan aktifitas kehidupan termasuk didalamnya tuntunan ibadah yang benar, sudah jelas terdapat pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Qur’an sebagai sumber pokok hukum Islam yang pertama dan As-Sunnah berfungsi untuk memperkuat, memperjelas dan menetapkan yang belum disebut dalam Al-Qur’an.

Al-Quran dan hadis yang sampai kepada kita masih otentik dan orsinil. Orsinilitas dan otentisitas didukung oleh bahasa aslinya, yakni bahasa Arab karena Al-Quran dan hadis merupakan dua dalil hukum, yakni petunjuk-petunjuk adanya hukum. Untuk memahami hukum-hukum tidak cukup hanya dengan petunjuk-petunjuk saja, melainkan memerlukan cara khusus untuk memahaminya yang disebut Ilmu Ushul fiqh.

Di antara sekian banyak wilayah cakupan ushul fiqh yang amat penting untuk diketahui adalah konsep tentang hukum, hakim, mahkum fih dan mahkum alaih. Sebab sebelum seseorang terjun untuk menjawab persoalan sebuah hukum, ia diharuskan untuk mengetahui terlebih dahulu apa itu hukum, kemudian siapa pembuatnya dan siapa obyeknya.

Berpijak dari hal di atas, maka dalam makalah sederhana ini akan dibahas secara komprehensif tentang istilah-istilah tersebut yang meliputi hakim, hukum, mahkum fih dan mahkum alaih.

---------------------
PEMBAHASAN

A. Hukum

1. Definisi Hukum

Secara bahasa hukum yaitu memutuskan. Sedangkan secara istilah hukum merupakan titah Allah yang berkaitan dengan pekerjaan orang mukallaf, baik titah itu berupa tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan (tuntutan berupa perintah atau larangan) ataupun titah yang berupa kebolehan memilih antara mengerjakan atau meninggalkan, ataupun titah Allah yang menjadikan tanda-tanda adanya hukum taklifi, baik tanda itu berupa sebab, syarat atau penghalang timbulnya suatu hukum.[1]

2. Pembagian hukum

a. Hukum Taklifi

1) Definisi Hukum Taklifi

Hukum taklifi adalah hukum yang berupa titah Allah yang mengandung beban bagi orang mukallaf, baik beban itu berupa tuntutan untuk mengerjakannya, meninggalkannya atau memilih mengerjakan atau tidak mengerjakannya.[2]

Dengan demikian hukum taklifi ialah yang dituntut untuk melakukannya atau tidak melakukannya atau dipersilahkan untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukannya.

2) Macam-macam Hukum Taklifi

Hukum Taklifi dibagi menjadi:

a) Al-Ijab (Wajib)

Al-Ijab ialah titah Allah yang menuntut terwujudnya suatu pekerjaan dengan tuntutan yang tegas atau mengikat. Yang artinya bersifat mengikat, maksudnya mau tidak mau harus dikerjakannya.

Berdasarkan cara menunaikannnya wajib dibagi menjadi: Pertama, Wajib Mu’ayan ialah wajib yang sudah ditentukan cara menunaikannya seperti cara berwudhu dan salat. Kedua,Wajib Mukhayar adalah wajib yang cara menunaikannya boleh diikhtiyarkan. Contohnya kafarah sumpah boleh memilih antara memberi makan orang miskin atau membebaskan budak.

Berdasarkan dari waktu menunaikannya wajib dibagi menjadi: Pertama, Wajib Mudhayaq adalah wajib yang waktu menunaikannya sangat sempit. Contohnya waktu di arofah hanya tanggal 9 Dzulhijah mulai waktu dzuhur sampai maghrib.Kedua, WajibMuwasa’ adalah waktu menunaikannya sangat luas, contohnya kewajiban haji, boleh waktu masih muda bileh juga setelah tua.

Berdasarkan siapa yang melakukannya wajib dibagi menjadi: Pertama, Wajib ‘Ain yakni wajib yang harus ditunaikan oleh setiap orang tanpa kecuali. Contohnya shalat lima waktu dan puasa ramadan.Kedua, Wajib Kifayah yakni wajib yang pada asalnya harus ditunaikan oleh setiap orang, akan tetapi karena sudah ada yang menunaikannya maka yang belum menunaikannya menjadi gugur kewajibannya. Contohnya memberi makan orang miskin dan menshalati jenazah

Berdasarkan dari kadarnya wajib dibagi menjadi: Pertama, Wajib Muhadad yakni wajib yang kadarnya telah ditentukan. Contohnya mengerjakan shalat dimulai dari takbiratul ikhram dan disudahi dengan salam dan kadar membanyar zakat fitrah.Kedua, Wajib Ghairu Muhadad yakni wajib yang kadarnya tidak ditentukan. Contohnya menyantuni anak yatim dan menolong orang susah.

b) An-Nadab (Sunah)

An-Nadab ialah titah Allah yang menuntut terwujudnya suatu pekerjaan, tuntutannya tidak tegas / tidak mengikat. Yang artinya bersifat tidak mengikat, yakni tidak harus dikerjakan karena tidak dikenai sanksi apa-apa.

Berdasarkan dari siapa yang menunaikannya Sunah dibagi menjadi: Pertama, Sunnah ‘Ain yakni yang besifat perorangan, pahalanya hanya untuk orang yang mengerjakannya. Contohnya shalat-shalat sunnah dan membaca Al-Quran.Kedua,Sunnah Kifayah yakni apabila orang lain telah mengerjakannya maka orang lain yang belum mengerjakan dalam jama’ah itu ikut mendapatkan pahala. Contohnya serombongan orang datang, yang mengucapkan salam cukup satu orang saja, yang lainya sudah tidak disunahkan lagi, pahalanya untuk semua rombongan itu

Berdasarkan dari statusnya Sunah dibagi menjadi: Pertama, Sunnah Mu’akadah yakni sunah yang sangat dianjurkan unuk mengerjakannya. Contohnya shalat tahiyatul masjid dan shalat tahajud.Kedua, Sunnah Ghairu Mu’akadah yakni sunah yang tidak sangat dianjurkan. Contohnya mengangkat tangan takbiratul ikram dan i’tidal, jama’ah shalat jenazah dengan tiga saf.[3]

c) At-Tahrim (Haram)

At-Tahrim ialah titah Allah yang menuntut ditinggalkan nya sesuatu dengan tuntutan yang tegas atau mengikat. Hukum Tahrim merupakan kebalikan dari Ijab, yakni harus ditinggalkan, perintahnya tegas dan mengikat. Mau tidak mau harus ditinggalkannya, karena ada sanksinya.

Berdasarkan Pembagian hukum haram dibagi menjadi: Pertama, Al-Muharram li Dzatihi yakni sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung kemudaratan bagi kehidupan manusia dan kemudaratan itu tidak bisa terpisah dari zatnya contohnya larangan berzina. Kedua, Al-Muharram li Ghairihi yakni sesuatu yang dilarang bukan karena esensinya karena secara esensial tidak mengandung kemudaratan, namun dalam kondisi tertentu, sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang dilarang secara esensial. Contohnya larangan melakukan jual beli pada waktu azan zhalat jum’at.

d) Al-Karohah (Makruh)

Al-Karohah ialah titah Allah yang menuntut ditinggalkannya sesuatu dengan tuntutan tidak pasti atau tidak mengikat. Hukum ini kebalikan dari An-Nadab, jadi keharusan meninggalkannya tidak tegas atau tidak mengikat, maka bagi orang melanggar larangan itu tidak ada sanksi apapun.

Al-Karohah dibagi menjadi: Pertama, Makruh Tahrim yakni sesuatu yang dilarang oleh syariat tetapi dalil yang melarang itu bersifat zhanni al-wurud ( tidak bersifat pasti). Contohnya larangan meminang wanita yang sedang dalam pinangan orang lain. Kedua, Makruh Tanzih yakni sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meningalkannya. Contohnya memakan daging kuda dan meminum susunya pada waktu sangat butuh di waktu perang

e) Al-Ibahah (Mubah)

Al-Ibahah ialah titah Allah SWT yang memperbolehkan memilih antara mengerjakan atau meninggalkan, tidak ada sanksi ataupun ganjaran baik meninggalkannya atapun mengerjakannya.[4]

Mubah dibagi menjadi: Pertama, Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yang wajib dilakukan. Contohnya makan dan minum adalah esuatu yang mubah, namun berfungsi untuk mengatarkan seseorang sampai ia mampu mengerjakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya seperti shalat dan berusaha mencari rezeki.Kedua, Mubah hukumnya bilamana dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Contohnya bermain dan mendengarkan nyanyian hukumnya adalah mubah bila dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya menhabiskan waktu hanya untuk bermain dan mendengar kan nyanyian.Ketiga, Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula. Contohnya membeli prabot rumah untuk kepentingan kesenangan.[5]

b. Hukum Wadh’i

1) Definisi hukum wadh’i

Hukum wadh’i ialah hukum yang menjadikan sesuatu itu sebagai suatu sebab adanya yang lain, atau syarat bagi sesuatu yang lain atau sebagai penghalang bagi sesuatu yang lain.[6]

Dengan demikian hukum wadh’i adalah hukuman yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung sebab atau mani’.

2) Pembagian hukum wadh’i

a) Sebab

Sebab: ialah sesuatu yang oleh syari’ (pembuat hukum) dijadikan sebagai konsekuensi adanya sesuatu yang lain yang menjadi akibatnya, maksudnya dapat dikatakan sebagai hukum karena memiliki sebab-akibat.

Sebab dibagi menjadi: Pertama, sebab yang bukan merupakan perbuatan mukalaf dan berada diluar kemampuannya. Contohnya tergelincir matahari menjadi sebab (alasan bagi datangnya shalat zuhur dan masuknya bulan ramadhan menjadi sebab (alasan) bagi kewajiban melakukan puasa ramadhan. Kedua, sebab yang merupakan perbuatan mukalaf dan dalam batas kemampuannya. Contohnya perjalanan menjadi sebab bagi bolehnya berbuka puasa di siang hari ramadhan dan akad transaksi jual beli menjadi sebab bagi perpindahan milik dari penjual kepada pihak pembeli..

b) Syarat

Syarat: ialah ada dan tidak adanya hukum tergantung kepada ada dan tidak adanya sesuatu. Artinya adanya sesuatu itu dapat menimbulkan pengaruh(atsar) kepada ada dan tidak adanya hukum jadi syarat dapat dikatakan sebagai sesuatu yang keluar dari hakikat yang di isyaratkan, yang mengakibatkan tidak adanya masyruth karena tidak adanya syarat.

Syarat dibagi menjadi: Pertama, Syarat Syar’i, yaitu syarat yang datang langsung syariat sendiri. Contohnya keadan rusyd (kemampuan untuk mengatur pembelanjaan sehingga tidak menjadi mubazir) bagi seorang anak yatim dijadikan oleh syariat sebagai syarat bagi wajib menyerahkan harta miliknya kepadanya. Kedua, Syarat Ja’ly, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukalaf itu sendiri. Contohnya seperti pernyataan seseorang bahwa ia baru bersedia menjamin untuk membayarkan utang si pulan dengan syarat si pulan itu tidak mampu membayar utangnya itu.

c) Mani’

Mani’ (penghalang):secara bahasa mani’, artinya penghalang. Dalam istilah ushul fiqh mani’ berarti: “sesuatu yang wujudnya dapat mengiadakan hukum atau membatalkannya. ”Timbulnya mani’ ini ketika sebab dan syarat itu telah tampak secara jelas.[7]

Mani’ dibagi menjadi: Pertama, Mani’ al-Hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum. Contohnya keadaan haid bagi wanita ditetapkan allah sebagai mani’ (penghalang) bagi kecakapan wanita itu untuk melakukan shalat, dan oleh karena itu shalat tidak wajib dilakukannya waktu haid. Kedua, Mani’ al-Sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum. Contohnya bahwa sampainya harta minimal satu nisab, menjadi sebab bagi wajib mengeluarkan zakat harta itu karena pemiliknya sudah tergolong orang kaya. Namun jika pemilik harta itu dalam keadaan berutang dimana utang itu bila dibayar aan mengurangi hartanya dari satu nisab, maka keadan berutang itu menjadi mani’ (penghalang) bagi wajib zakat pada harta yang dimilikinya itu.[8]

d) Shah

Shah: pengertian shah yang dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah “sah” digunakan secara mutlak dengan dua pandangan: Pertama, dimaksud dengan shah bahwa perbuatan itu mempunyai pengaruh dalam kehidupan dunia atau dengan arti perbuatan itu mempunyai arti secara hukum. Ibadah itu dikatakan shah, dalam arti perbuatan ibadah itu dianggap telah memadai dan telah melepaskan orang yang melakukannya dari tanggung jawab terhadap Allah SWT. Kedua, dimaksud dengan shah bahwa perbuatan itu mempunyai pengaruh atau arti untuk kehidupan akhirat: seperti berhaknya atas pahala dari Allah SWT. Contohnya shalat dihukum sah apabila telah memenuhi syarat rukunnya dan Nikah dihukumi sah bila memenuhi syarat rukunnya.

e) Bathal

Bathal: bathal yang dimaksud dalam bahasa indonesia adalah “batal”. Bathal juga mempunyai dua arti dilihat dari segi dalam bidang apa kata bathal digunakan: Pertama, bathal digunakan untuk arti “tidak berbekasnya perbuatan bagi si pelaku dalam kehidupan duina’. Arti bathal dalam ibadah adalah bahwa ibadah itu tidak memadai dan belum melepaskan tanggung jawab serta belum menggugurkan kewajiban qadha. Kedua, bathal digunakan untuk arti “tidak berbekasnya perbuatan bagi si pelaku di akhirat, yaitu tidak menerima pahala. Contohnya shalat tidak membaca fatehah maka bathal, shalat hilang kesucian hadasnya maka bathal, dan nikah tanpa ada saksinya maka nikahnya bathal.

f) Fasid: terdapat kesamaan pendapat dalam hal penamaan Bathal dan Fasid dalam ibadah, yaitu: “sesuatu perbuatan yang dilakukan tidak memenui rukun dan syarat, atau belum berlaku sebab atau terdapat mani’. Contohnya nikah dengan saudara seayah atau seibu maka dihukumi fasid dan sedekah dengan hasil korupsi.[9]

B. Hakim

Kata hakim secara etimologi berarti orang yang memutuskan hukum. Dalam istilah fiqih kata hakim juga dipakai sebagai orang yang memutuskan hukum dipengadilan yang sama maknanya dengan qadhi. Dalam kajian ushul fiqh, kata hakim berarti pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki.[10]

Ulama ushul fiqh sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum syariat adalah Allah. Dalam masalah hakim ini seluruh ulama menyepakati konsep diatas. Mereka juga sepakat memaknai hukum sebagai khitabullah bukan khitab ar-rusul atau khitab al-mujtahidin. Perbedaan ulama dalam hal ini hanya berkisar tentang hukum allah yang berkaitan tentang perbuatan mukallaf.

Terkait perbedaan ini yang telah dijelaskan diatas, abdul wahab khallaf membagi menjadi tiga kelompok:

1. Mazhab asy’ariyah, pengikut abu hasan al’asy’ari yang menyatakan bahwa akal dengan sendirinya tidak akan mampu mengetahui hukum-hukum allah tanpa mediasi para rasul dan kitab-kitabnya. Kelompok ini juga berargumen bahwa yang disebut dengan kebaikan adalah sesuatu yang telah ditunjukan oleh syari’ bahwa hal itu memnag baik. Sementara kejelekan adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh syari’ bahwa hal itu memang jelek. Kebaikan dan kejelekan tidak dapat ditentuukan oleh penalaran akal semata

2. Mazhab mu’tajilah yakni para pengikut washil bin atha’ yang menyatakan bahwa dengan sendirinya akal mampu mengetahui hukum-hukum Allah tanpa melalui perantara rasul atau kitab. Mereka berpendapat bahwa sesuatu itu dikatakan baik ketika akal memandang hal itu baik. Sebaliknya sesuatu dipandang jelek ketika akal memang menganggap hal itu jelek.

3. Mazhab maturidiyah, pengikut abu mansur al-maturidi, mazhab ini menurut khallaf adalah mazhab penengah dan dianggap sebagai pendapat yang lebih kuat. Mazhab ini menyatakan bahwa memang akal sehat itu mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Namun, tidak secara otomatis akal menentukan hukum-hukum allah sebab kerja akal itu terbatas dan terkadang kerja akal itu berbeda satu sama lain dalam menilai suatu perbuatan. Oleh karena itulah, dalam menentukan hukum-hukum allah tetap diperlukan adanya peralatan utusan (rasul) dan kitab-kitabnya.

C. Mahkum Fih

Yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan seorang mukallaf yang berkaitan dengan taklif/pembebanan. Taklif yang berasal dari allah ditujukan pada manusia dalam setiap perbuatan-perbuatannya. Tujuan dari taklif ini tidak lain adalah sebagai bentuk ujicoba atau ibtilah’ dari allah kepada para hambanya supaya dapat diketahui mana hamba yang benar-benar taat dan mana hamba yang maksiat kepadanya.[11]

Terdapat beberapa syarat untuk sahnya suatu perbuatan, diantaranya adalah:

1. Perbuatan tersebut diketahui secara sempurna dan rinci oleh orang mukallaf sehingga dengan demikian suatu perintah, misalnya dapat dilaksanakan secara lengkap seperti yang dikehendaki oleh Allah dan Rasulnya.

2. Diketahui secara pasti oleh orang mukalaf bahwa perintah itu datang dari pihak yang berwenang membuat perintah yang dalam hal ini adalah Allah dan Rasulnya.

3. Perbuatan yang diperintahkan atau dilarang haruslah berupa perbuatan yang dalam batas kemampuan manusia untuk melakukanatau meninggalkannya.[12]

D. Mahkum ‘Alaih

Mahkum ‘Alaih ialah mukallaf yang layak mendapatkan khitab dari allah dimana perbuatannya berhubungan dengan hukum syariat. Seseorang dikatakan mukallaf jika telah memenuhi syarat-syarat berikut ini:

1. Mukallaf dapat memahami dalil taklif baik itu berupa nas-nas al-Qur’anatau sunah baik secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang tidak mengerti hukum taklif, maka ia tidak dapat melaksanakan dengan benar apa yang diperintahkan kepadanya. Dan alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal. Maka orang yang tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan mukallaf.

2. Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. Yang dimaksud dengan ahli disini ialah layak atau wajar untuk menerima perintah.

Keadaan manusia dihubungkan dengan kelayakan untuk menerima atau menjalankan hak dan kewajiban dapat dikelompokkan menjadi dua: Pertama, tidak sempurna, artinya dapat menerima hak tetapi tidak layak baginya kewajiban. Kedua, secara sempurna, artinya apabila sudah layak baginya beberapa hak dan layak melakukan kewajiban yaitu orang-orang yang sudah dewasa (mukallaf).

Ulama ushul fiqh membagi ahli (kelayakan) menjadi dua:

1. Ahliyatul Wujub (Ahli Wajib)

Ialah kelayakan seseorang untuk ditetapkan kepadanya hak dan kewajiban. Kelayakan inilah yang membedakan menusia dengan binatang. Kekhususan yang ada pada manusia ini oleh para fuqaha disebut al-Zimmah, yaitu sifat naluri manusia untuk menerima hak orang lain dan menjalankan kewajiban dirinya untuk orang lain.

Ahliyatul wujub itu dipandang sebagai sifat kemanusiaan. Dengan kata yang lebih tegas wahbah zuhaili mengatakan bahwa ahliyatul wujub adalah sebuah ketetapan yang diperuntukkan untuk manusia dari mulai penciptaanya sampai kepada kematian.

2. Ahliyatul Ada (Ahli Melaksanakan)

Ialah kelayakan mukallaf untuk dapat dianggap baik ucapan dan perbuatannya menurut syara’. Contoh, apabila mukallaf mendirikan shalat, puasa atau haji maka semua itu bisa diperhitungkan dan bisa menggugurkan kewajibannya. Jika mukallaf melakukan pidana, maka ia harus dihukum sesuai pelanggarannya itu.

Keadaan manusia jika dihubungkan kepada ahliyatul ada, maka dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok:

a) Tidak mempunyai keahlian sama sekali. Maksudnya ialah orang yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan hukum seperti anak-anak yang belum dewasa atau kehilangan kemampuan seperti orang gila.

b) Tidak sempurna keahliannya yaitu anak yang masih remaja sebelum dia baligh. Termasuk dalam kelompok ini pula orang yang kurang akal. Karena orang yang kurang akal itu tidak cacat akalnya dan tidak kehilangan akaln.

c) Sempurna keahliannya. Yaitu orang yang sudah sampai usia dewasa. Maka keahlian melaksanakan hak dan kewajibannya dianggap sempurna dengan kedewasaan dan kematangan berpikir.[13]


KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa pertama, Hukum yaitu secara bahasa hukum artinya memutuskan. Sedangkan secara istilah hukum merupakan titah Allah yang berkaitan dengan pekerjaan orang mukallaf, baik titah itu berupa tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkannya, ataupun titah Allah yang menjadikan tanda-tanda adanya hukum taklifi, baik tanda itu berupa sebab, syarat atau penghalang timbulnya suatu hukum. Kedua, Hakim yaitu secara etimologi berarti orang yang memutuskan hukum. Dalam istilah fiqih kata hakim juga dipakai sebagai orang yang memutuskan hukum dipengadilan. Dalam kajian ushul fiqh, kata hakim berarti pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki. Ketiga, Mahkum fih adalah perbuatan seorang mukallaf yang berkaitan dengan taklif/pembebanan. Keempat, Mahkum ‘Alaih adalah mukallaf yang layak mendapatkan khitab dari allah dimana perbuatannya berhubungan dengan hukum syariat.

------------------

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, Zen, Ushul Fiqih. (Yogyakarta: TERAS, 2009).

Effendi,Satria, Ushul Fiqh, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2015).

Shidiq,Sapiudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: KENCANA, 2014).

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, (Jakarta: KENCANA, 2014)

http://alimchoy.blogspot.co.id/2011/07/hukum-hakim-mahkum-fih-dan-mahkum-alayh.html,..Dikunjungi tanggal 07-04-2017.

===========
Footnote
===========

[1] Zen Amiruddin, Ushul Fiqih. (Yogyakarta: TERAS, 2009), Cet. I., hlm. 26.

[2] Ibid., hlm. 28.

[3] Ibid., hlm. 34-36.

[4] Ibid., hlm. 29-30.

[5] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2015), Cet, VI., hlm. 55-61.

[6] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: KENCANA, 2014), Cet, II., hlm. 133.

[7] Ibid., hlm. 134-139.

[8] Satria Effendi, Opcit., hlm. 62-67

[9] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: KENCANA, 2014), Cet, V., hlm. 127-131.

[10] Satria Effendi, Opcit., hlm. 68.

[11]http://alimchoy.blogspot.co.id/2011/07/hukum-hakim-mahkum-fih-dan-mahkum-alayh.html,. Dikunjungi tanggal 07-04-2017.

[12] Satria Effendi, Opcit., hlm. 74.

[13] Sapiudin Shidiq, Opcit., hlm. 148-150

2 comments:

  1. Casinos Online with Real Money | dlcd.com
    Casinos are designed to make sure that every effort they make to 경주 출장마사지 provide real 화성 출장안마 money for a 대구광역 출장샵 real 남양주 출장샵 money play that 문경 출장안마 is designed for a real money bet.

    ReplyDelete