PERKULIAHAN TAFSIR PENDIDIKAN
ETIKA PESERTA DIDIK
ETIKA PESERTA DIDIK

Oleh:
KELAS PAI D TARBIYAH STAIN SAS BANGKA BELITUNG
Jurusan/Prodi: Tarbiyah/PAI
Dosen Pengampu:
MISBAHUL MUNIR, M.Hum
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK
BANGKA BELITUNG
2017
KELAS PAI D TARBIYAH STAIN SAS BANGKA BELITUNG
Jurusan/Prodi: Tarbiyah/PAI
Dosen Pengampu:
MISBAHUL MUNIR, M.Hum
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK
BANGKA BELITUNG
2017
--------------
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa, kebiasaan, adat, kebiasaan, akhlaq, watak, perasaan, cara berfikir.[1] Etika biasanya erat kaitannya dengan moral, akhlak, perilaku dan adab. Didalam islam disebut dengan akhlak. Secara bahasa Akhlak berasal dari bahasa Arab bentuk jamak dari kata “Khuluq” yang secara bahasa bermakna perbuatan atau penciptaan. Menurut Imam Ghazali Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[2]
Jika dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika[3] terdapat tiga pengertian yaitu:
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
2. kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3. Asas perilaku yang menjadi pedoman.
Etika sebagai salah satu cabang dari filsafat yang mempelajari tentang tingkah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan tersebut, baik atau buruk, maka ukuran untuk menentukan nilai itu aadalah akal pikiran atau dengan kata lain, dengan akallah orang dapat menetukan baik atau buruk. Maka dapat disimpulkan bahwa etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat di ketahui oleh akal pikiran.Didalam kehidupan etika berlaku untuk semua manusia baik yang tinggi kedudukannya maupun yang rendah.
Tujuan etika ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia disetiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Dengan demikian persoalan etika ialah segala perbuatan yang timbul dari orang yang melakukan dengan ikhtiar dan ia mengetahui kapan ia akan melakukannya.
Seperti halnya Sabda Rasulullah SAW :
اِنَّمَا بُعِثْتُ لِاُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus (menjadi Rasul hanya) untuk menyempurnakan Akhlak yang mulia.” (HR. Malik).
Dalam hadis ini dijelaskan bahwa Rasulullah SAW diutus ke dunia ini bertujuan untuk menyempurnakan akhlak. Karena persoalan akhlah atau etika ini sangatlah penting. Dimanapun kita berpijak di dunia ini, maka kita di tuntut untuk beretika yang baik, baik kepada sesama muslim ataupun non-muslim.
B. Pengertian peserta didik
Peserta didik salah satu komponen dalam sistem pendidikan Islam. Peserta didik merupakan “New material” didalam proses transformasi yang disebut pendidikan. Mengacu pada konsep pendidikan sepanjang masa atau seumur hidup, maka dalam arti luas yang disebut dengan peserta didik adalah siapa saja yang berusaha untuk melibatkan diri sebagai peserta didik dalam kegiatan pendidikan, sehingga tumbuh dan berkembang potensinya, baik yang berstatus sebagai anak yang belum dewasa, maupun orang yang sudah dewasa. Peserta didik adalah salah satu komponen wajib dalam sistem pendidikan. Dengan adanya peserta didik, maka akan terciptanya sebuah kegiatan pendidikan. Secara formal peserta didik adalah orang yang sedang berada pada fase pertumbuhan dan perkembangan baik secara fisik maupun psikis, pertumbuhan dan perkembangan merupakan ciri dari seorang peserta didik yang perlu bimbingan dari seorang pendidik.[4] Didalam pasal 1 ayat 4 Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.[5]
Menurut Samsul Nizar Peserta didik adalah makhluk Allah yang telah di bekali berbagai potensi (fitrah) yang perlu di kembangkan secara terpadu . fungsi pendidikan dalam hal ini adalah membantu dan membimbing peserta didik agar dapat mengembangun dan mengarahkan potensi yang di milikinya, sesuai tujuan pendidikan yang telah di tetapkan, tanpa harus mangabaikan fungsi-fungsi kemanusiaannya.[6]
Memposisikan pendidik dan peserta didik sebagai subjek pendidikan mengindikasikan perlunya penerapan filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Menurut filsafat ini, pengetahuan merupakan hasil bentukan (konstruksi) orang yang sedang belajar. Pengetahuan yang di proleh peserta didik selama proses pembelajaran merupakan hasil konstruksinya sendiri. Di dalam konstruktivisme, peserta didik menjalani proses mengonstrusi pengetahuan, baik berupa konsep ide, maupun pengertian tentang sesuatu yang sedang di pelajari. Pembelajaran yang menekankan proses pembentukkan pengetahuan oleh peserta didik di sebut pembelajaran yang konstruktivis. Di dalam paradigma pendidikan seperti ini, pendidik dan peserta didik ialah manusia yang sama- sama mengalami proses belajar. Keduanya di posisikan sebagai subjek yang berusaha menemukan pengetahuan dan mengembangkan kerangka berfikirnya masing-masing. Paradigma ini berbeda dengan paradigma lama yang memandang proses pendidikan sebagai usaha indoktrinasi oleh pendidik, dengan memandang pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai objek.[7]
Maka dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa peserta didik adalah salah satu komponen dari sistem pendidikan yang mana pesertta didik bukan sekedar objek namun juga sebagai subjek pendidikan yang memerlukan pendidik untuk mengarahkan dan membimbing dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
C. Cara beretika peserta didik dengan baik dan benar.
Etika peserta didik merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan dalam proses pembelajaran baik secara langsung maupun tidak langsung, Imam Al-Ghazali merumuskan ada sebelas kewajiban peserta didik.[8]
1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarub kepada Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak didik dituntut untuk mensucikan jiwanya dan akhlak yang rendah dan watak yang tercela. Seperti didalam Q.S Adz-Zariyyat: 56
2. Mengurangi kecendrungan pada duniawi dibandingkan masalah akhirat. QS. 93:4
“dan Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan).”
Maksudnya ialah bahwa akhir perjuangan Nabi Muhammad SAW. itu akan menjumpai kemenangan-kemenangan, sedang permulaannya penuh dengan kesulitan-kesulitan. ada pula sebagian ahli tafsir yang mengartikan akhirat dengan kehidupan akhirat beserta segala kesenangannya dan “ula” dengan arti kehidupan dunia.
3. Bersikap tawadhu’ (rendah hati) dengan cara meninggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidikannya.
4. Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dan berbagai aliran.
5. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi maupun untuk duniawi.
6. Belajar dengan bertahap dengan cara memulai pelajaran yang mudah menuju pelajaran yang sukar.
7. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudahan hari beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
8. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
9. Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang dapat bermanfaat dalam kehidupan dunia dan akhirat.
11. Anak didik harus tunduk pada nasehat pendidik.
Segala hal yang harus di penuhi peserta didik dalam proses belajar mengajar juga di uraikan oleh Al-Ghazali dalam kitabnya Ayyyuhal Walad, yang dapat diringkas[9], sebagai berikut:
1. Seorang peserta didik hendaklah menjauhkan diri dari segala perbuatan yang dilarang oleh agama seperti perbuatan maksiat, karena maksiat adalah racun bagi ilmu pengetahuan.
2. Seorang peserta didik senantiasa mendekatkan diri kepada Allah.
3. Seorang peserta didik hendaknya memusatkan konsentrasi dan fokus terhadap apa yang ia pelajari.
4. Seorang peserta didik janganlah menyombongkan diri dengan ilmuyang sudah dimilikinya.
5. Hendaklah setiap peserta didik berperan aktif dalam diskusi dan memecahkan suatu masalah dengan cara yang baik dan lemah lembut.
6. Hendaknya peserta didik konsisten dengan apa yang dia pelajari dan istiqomah dalam menjalaninya.
7. Seorang peserta didik hendaknya mempelajari ilmu pengetahuan secara sistematis.
Peserta didik sebagai subjek pendidikan dalam Islam, sebagaimana di ungkapkan Asma Hasan Fahmi, sekurang-kurangnya harus memperhatikan empat hal yaitu: pertama, seorang peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa sebelum melakukan proses belajar karena belajar dalam Islam merupakan ibadah yang menuntut adanya kebersihan hati. Kedua, peserta didik harus menanamkan dalam dirinya bahwa tujuan menuntut ilmu itu adalah untuk meraih keutamaan akhlak, mendekatkan diri kepada Allah bahkan untuk bermegah-megahan atau bukan mencari kedudukan. Ketiga, seorang peserta didik harus memiliki ketabahan dan kesabaran dalam mencari ilmu, dan bila perlu melakukan perjalanan merantau untuk mencari guru, atau apa yang di sebut rihlah ‘ilmiyyah. Keempat, seorang peserta didik wajib menghormati gurunya, dan berusaha semaksimal mungkin meraih kerelaannya dengan berbagai macam cara yang terpuji.[10]
Dari empat sifat yang harus di miliki dan di perhatikan seorang peserta didik di atas, Al-Abrasyi menambahkan beberapa sifat lainnya, seperti bersungguh-sungguh dan tekun dalam belajar, bila perlu bertanggang siang malam untuk memperoleh pengetahuan, saling mencintai sesama peserta didik dan memerhatikan persaudaraan, senantiasa mengulang-ngulang pelajarannya, dan bertekad untuk belajar sepanjang hayat.
Maka dari beberapa rumusan para ahli diatas, dapat disimpulkan etika peserta didik dalam menuntut ilmu yaitu:
1. Peserta didik harus mengawali niatnya karena Allah SWT. dan mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka menghiasi jiwa dengan sifat keimanan, dan mendekatkan diri kepada Allah
2. Peserta didik harus tabah memperoleh ilmu pengetahuan dan sabar dalam menghadapi tantangan dan cobaan yang datang.
3. Peserta didik hendaklah mempunyai sifat rendah hati dengan ilmu yang dimilikinya, merasa belum puas dalam mengarungi lautan ilmu dan tidak menyombongkan diri dengan ilmu yang sudah dimilikinya.
4. Peserta didik harus ikhlas dalam menuntut ilmu dan menghormati guru atau pendidik, berusaha memperoleh kerelaan dari guru dengan mempergunakan beberapa cara yang baik.
5. Peserta didik harus berusaha dengan sungguh-sungguh (berjihad) dalam menuntut ilmu serta diiringi dengan doa kepada Allah agar berhasil dalam menuntut ilmu.
D. Ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan etika peserta didik
1. QS. Luqman ayat 18:
“dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Nasihat Luqman berkaitan dengan akhlak dan sopan santun berinteraksi dengan materi pelajaran aqidah, diselingi dengan materi pelajaran akhlak, bukan saja agar peserta didik tidak jenuh dengan satu meteri, tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa ajaran akidah dan akhlak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Didalam nasehat Luqman tersebut, sebagai peserta didik hendaklah tidak merasa cepat puas dengan ilmu yang dimilikinya dan juga tidak menyombongkan dengan apa yang sudah dimilikinya karena sesungguhnya sifat sombong adalah sifat ketuhanan, maka ketika kita memiliki sifat sombong maka sama saja kita menyamai kedudukan-Nya dan Allah sangat membenci orang yang berlaku sombong. Sebagaimana dalam ayat lain juga dijelaskan didalam QS. Al-Isra’ ayat 37:
“dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.”
2. QS. Taha ayat 114:
“Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."
Asbabun nuzul dari ayat diatas ialah Nabi Muhammad s.a.w. dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril a.s. kalimat demi kalimat, sebelum Jibril a.s. selesai membacakannya, agar dapat Nabi Muhammad s.a.w. menghafal dan memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu.
Ayat ini memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW, supaya berusaha dan memohon kepada Allah Swt tambahan ilmu. Dan katakanlah: “Tuhan pemelihara dan pembimbingku, tambahkanlah kepadaku ilmu yang baik melalui wahyu-wahyu-Mu yang disampaikan oleh malaikat maupun melalui apa yang terbentang dari ciptaan–Mu dialamraya”.[11]
Secara tersirat dalam ayat ini jelas bahwa Allah tidak memerintahkan kepada hamba–hambanya untuk meminta ilmu bukan meminta tambahan selain ilmu. Maka etika ketika ingin belajar harus dimulai dengan doa agar kita di beri kemudahan dan pemahaman ketika belajar.
Kemudian Allah menyuruh Nabi Muhammad SAW agar berdoa supaya dia memberikan kepada nyata bahan ilmu. Diriwayatkan oleh At-Tirmizi dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah berdoa sebagai berikut:
“Ya Allah, jadikanlah ilmu yang engkau ajarkan kepadaku ilmu yang berguna untukku dan berikanlah kepadaku tambahan ilmu. Segala puji bagi Allah atas segala hal, aku berlindung kepada engkau akan menemuihal hal yang diderita oleh penghuni neraka. (HR. Tirmizi dan Ibnu Majah)
3. QS. Al-Insyiqaq
“Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).”
Didalam ayat tersebut yang dimaksud dengan tingkat demi tingkat ialah dari setetes air mani sampai dilahirkan, kemudian melalui masa kanak-kanak, remaja dan sampai dewasa. dari hidup menjadi mati kemudian dibangkitkan kembali. Jika kita analogikan dengan etika bagi peserta didik, maka seorang peserta didik harus melewati proses dari yang mudah ke yang susah, dari yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi.
E. Kontekstualisasi masalah
Pendidikan adalah jiwa masyarakat saat berpindah dari satu generasi ke generasi yang lain. Guntur Seorang anak menjadi salah satu korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh wali kelasnya. Konon katanya, sang guru sudah kewalahan dengan tingkah laku sang murid yang tak bisa diatur dan selalu melanggar aturan. Tindak kekerasan pun dinilai sebagai salah satu cara yang bisa membuat anak didiknya berubah. Berhasilkah? Nyatanya, sang guru tersebut malah masuk penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kasus lain, seorang guru tega melakukan tindakan amoral kepada anak didiknya hanya karena sang anak didik sering terlambat. Padahal, guru tersebut dikenal sebagai orang yang sabar dan baik. Orangtua si anak tak terima dan melaporkan kejadian tersebut ke pihak yang berwajib. Alhasil, sang guru harus merasakan dinginnya hotel prodeo karena kekhilafannya. Kejadian di atas merupakan dua contoh kasus di antara berbagai macam kasus yang sering kita jumpai akhir-akhir ini. Penyiksaan terhadap anak didik yang dilakukan oleh pihak yang ditinggikan oleh masyarakat dan berpendidikan, yaitu guru. Tindakan guru tersebut bagaimana pun juga jelas melanggar hukum. Seorang guru seharusnya mengerti etika pendidikan. Bagaimana pun juga, kekerasan tidak bisa menyelesaikan masalah dan malah memperparah.
Sekarang, bukan zamannya lagi "penyiksaan" terhadap anak didik bila mereka tak menurut terhadap perintah guru. Guru bukanlah segalanya dan bukanlah "Tuhan" bagi murid. Bila dulu melakukan tindak kekerasan terhadap murid karena tidak mengerjakan PR dianggap wajar, namun sekarang berbeda. Sedikit saja seorang guru melukai murid secara fisik, maka guru tersebut bisa dituntut dan masuk penjara. Seorang guru haruslah mengerti tentang etika pendidikan. Tugas mereka tak hanya mengisi "bak yang kosong dengan air", namun juga membentuk kepribadian anak didik yang baik. Dan, bagaimana mungkin seorang guru bisa membentuk kepribadian anak yang baik bila mereka sendiri suka melakukan tindak kekerasan dengan alasan untuk mendidik. Sama saja hal tersebut melanggar etika pendidikan. Mendidik tidak harus dengan kekerasan. Itulah salah satu etika pendidikan yang wajib dipahami oleh semua guru. Ingatlah bahwa anak didik bukanlah komputer atau mesin yang bila kita kesal bisa dibanting sepuasnya. Anak didik adalah amanah bagi seorang guru. Anak didik adalah "titipan" yang sudah selayaknya dijaga. Bila ada sesuatu yang membuat guru tersinggung dan marah dengan ulah anak didiknya, selesaikanlah dengan baik-baik dan tidak dengan menggunakan kekerasan karena hal tersebut sangat melanggar etika pendidikan.
Seorang guru haruslah memandang seorang anak didik sebagai sebuah aset yang harus dilindungi dan bukan "dieksploitasi". Bila dalam proses belajar mengajar ada sesuatu yang kurang baik di antara guru dan anak didik, sudah seharusnya hal tersebut diselesaikan dengan cara yang baik. Kelanjutan Dunia Pendidikan dan Masalah Etika Berikut ini adalah beberapa moral yang paling umum, masalah hukum dan etika dalam pendidikan yang paling sering dihadapi oleh para pemberi dan penerima pendidikan, bersama dengan lembaga pendidikan sendiri, para stick holder, orang tua dan wali siswa.
1. Seragam Sekolah - Haruskah dilepaskan atau malah semakin wajib? Argumen yang mendukung adanya seragam selalu mengamati kepentingan dari dress code / seragam untuk menyatukan siswa dan tidak membedakan diri mereka satu dengan yang lainnya. Keseragaman bukan berarti kiamat bila masuk ke wilayah pendidikan, lebih dari itu dengan berseragam bisa memberikan semacam semangat korps, di kalangan siswa, dan membuat mereka menghargai kebersamaan kelompok prestasi satu dengan yang lainnya. Karena apabila tidak diseragamkan apalagi zaman sekarang maka ada kecenderungan anak berlaku tidak sopan dari busana, pakaian provokatif atau terlalu santai, warna rambut dan gaya keterlaluan, mereka pada akhirnya akan berkelompok untuk sesuatu yang sama sekali jauh dari semangat pendidikan, yakni berpikir kelompok sektarian. Tidak ada jalan tengah untuk hal ini, jika baju di bebaskan, masalah etika bakal menjadi debat panjang. Toh dengan memakai nama dan bendera berbeda dari setiap sekolah saja, anak anak lantas cenderung tawuran.
2. Masalah Disiplin: anak mami menjadi agresif pada masa pertumbuhan, namun mudah pula jatuh pada semacam ritual narsistik yang mampu menghadirkan mereka sebagai orang yang paling hebat di antara teman-temannya. Bila guru tidak mampu menghadirkan sarana untuk kenarsisan siswa untuk berprestasi, siap-siap saja menuai murid yang tidak disiplin. Apalagi guru sendiri berada dalam hidup yang sulit dalam kondisi untuk berprestasi, mengingat di kalangan guru masih saja ada nilai penghargaan yang rendah secara finansial oleh negara dan bangsanya sendiri. Nasib guru di Indonesia jauh dari rasa keadilan sosial, sehingga sulit bagi mereka untuk mengajarkan prestasi.
3. Mengatasi Diversity: Kebhinekaan. Inilah masalah etika yang akan dihadapi di sekolah. Negara ini negara bhineka, namun masyarakat malah mengajarkan kerusakan pada kesatuan. Lalu apa yang tersisa untuk di ajarkan pada siswa. Dengan siswa dari latar sosial dan etnis berbeda maka penerimaan di sekolah-sekolah saat ini, masalah mereka siap berbeda? atau tidak? untuk mengatasi keragaman akhirnya muncul pertanyaan serius. Ketidaksetaraan rasial dan perbedaan etnis telah menjadi masalah di sekolah umum sejak zaman sekolah umum didirikan. Pembedaan pada minoritas, yang china, yang papua, yang keling, yang putih, yang muslim, yang kristen, yang budha, merupaka masalah serius. Karena mereka calon pemegang estafet republik, dan orang jahat tidak tinggal diam melihat kesempatan emas memecah belah Indoensia, Langkah utama untuk menangani keragaman di sekolah harus datang dari kurikulum itu sendiri. Harus ada festival multikultural di sekolah akan menandai awal dari upaya untuk menggabungkan siswa dari berbagai latar belakang ke dalam ikatan kesatuan kelembagaan. Selain itu, masukan sejarah terkemuka yang berasal dari etnis yang berbeda sebagai bagian dari studi kolektif sejarah nasional akan mendorong siswa untuk membiasakan diri dengan perbedaan satu sama lain 'ras, budaya dan etnis. Daripada membiarkan keragaman datang di jalan pendidikan, pentingnya keanekaragaman harus ditegakkan.
4. Grading - Menghubungkan Parameter dengan tujuan : dan satu hal Ujian nasional? Apakah nilai mencerminkan hasil? Sebaliknya, apa yang yang harus mencerminkan nilai? Haruskah anak terikat oleh gagasan akademisi? Kemudian lagi, di bidang apa mereka harus mencerminkan prestasi ? Haruskah nilai dipertimbangkan untuk menilai kemampuan belajar, informasi menggenggam kecakapan, disiplin dalam memenuhi tenggat waktu akademis? Negara bisa jadi pesakitan, dan bisa jadi penyelamat bila mampu menjawab pertanyaan itu, dan sejauh ini, negara gagal memberikan pendidikan etis yang baik dengan menjawab pertanyaan sebaik baiknya. Ujian nasional dipaksakan ada, karena itu adalah proyek dan semata proyeknya para akademisi yang berpangkat, semua mengerti itu. Selain masalah etika pendidikan tersebut, ada masalah lain yang patut dicatat - evaluasi guru, pendidikan seks, pendidikan nilai, pelacakan dan tes narkoba, bahkan yang lebih gila tes keperawanan. Tindakan gila yang sangat merendahkan perempuan, dan menjadikan murid hancur sebelum berkembang. Para regulator, berpikirlah dengan lebih sehat. Jadi Menurut saya etika pendidikan di Indonesia harus diperhatikan dan ditindak .Karena jika tidak ditindak maka siswa/siswi yang menjadi korban kekerasan akan merasa tidak aman dan nyaman belajar disekolah karena merasa takut. Sebaiknya pemerintah harus memberikan pengarahan kepada guru dan pelajar agar bertindak sesuai dengan norma dan hukum yang tegas agar etika pengajar dan pelajar menjadi baik.
-------------
Footnote
-------------
[1] K. bertens, Etika, (Jakarta :PT Gramedia pustaka utama 2001), hal 4
[2] Aminuddin, dkk, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum, (Yogyakarta: PT.Ghalia Indonesia, 2005)., hlm.152.
[3] Depdiknas, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm.399.
[4] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), hlm. 133.
[5] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, hlm. 2.
[6] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 48-50.
[7] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam Menguatkan Epistemologi Islam dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hlm. 95-96.
[8] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), hlm. 133.
[9] Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm.178-179.
[10] Ibid, hlm. 180.
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan Kesan dan Keserasian Al Qur’an, (Jakarta: LenteraHati, 2004). Hlm. 337.
No comments:
Post a Comment