Thursday, July 20, 2017

METODELOGI STUDI ISLAM (MAKALAH) TEMA "STUDI ISLAM DAN ISU-ISU PLURALISME"

MAKALAH

STUDI ISLAM DAN ISU-ISU PLURALISME

Dosen Pengampu : Kartika Sari M. Hum



KELOMPOK 8

Disusun Oleh :

Ali Imron (1611104)

Anggun Sapitri (1611105)

Esensilia Pravita (1611110)

Jurusan / Prodi : Tarbiyah / PAI / II D

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )

SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK

BANGKA BELITUNG

2017/2018
---------------
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan jalan, kekuatan, serta petujuk-Nya sehingga makalah tentang “STUDI ISLAM DAN ISU-ISU PLURALISME “ ini dapat diselesaikan.

Terwujudnya makalah ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan narasumber. Disadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, diharapkan adanya saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan makalah dimasa yang akan datang.

Akhir kata, semoga Allah SWT. Selalu melimpahkan rahmat, karuniah, dan hidayah-Nya kepada kita serta semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Pangkalpinang, 1 Juni 2017


-------------------
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang pluralistik dan menyimpan kemajemukan serta keberagaman dalam hal agama, tradisi, kesenian, kebudayaan, cara hidup dan pandangan nilai yang dianut oleh kelompok-kelompok etnis dalam masyarakat Indonesia.

Namun ada beberapa isu yang banyak menimulbkan perbedaan pendapat di kalangan para ahli dalam mengartikan fluralisme. Pluralisme seakan selalu menjadi problem di dalam dunia Islam. Persoalan ini muncul karena sebagian besar masih belum memahami secara sungguh-sungguh arti dari pentingnya pluralisme. Sebuah pemahaman yang saat ini sedang gencar menyerang dalam tubuh kaum muslimin. Kata ini dimaknakan dengan “semua agama sama”, “semua agama mengajarkan kebaikan”, “tidak boleh fanatik, atau mengklaim bahwa agamanya sendiri yang paling benar, sedangkan yang lain adalah salah (sesat)”.

Sehingga dampak dari ketidak pahaman mengenai pluralisme terseburt telah memicu terjadinya konflik yang tidak jarang mengatasnamakan agama. Untuk itulah pemakalah ingin menjelaskan lagi tentang studi Islam dan isu-isu fluralisme supaya lebih mudah dimengerti dan tidak salah mengartikannya lagi.

B. Rumusan Masalahm

1. Bagaimana Perkembangan Pluralisme ?

2. Bagaimana Pluralisme Dalam Islam ?

3. Bagaimana Pluralisme di Indonesia ?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui Perkembangan Pluralisme.

2. Mengetahui Pluralisme Dalam Islam.

3. Mengetahui Pluralisme di Indonesia.

-------------------
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PLURALISME

Secara etimologi pluralism berasal dari kata “plural” (dalam bahsa Inggris) yang berarti lebih dari satu atau banyak dan berkenaan dengan keanekaragaman, sedangkan “isme” yang berarti paham. Dengan demikian dapat disimpulkan bah pluralism berarti paham kemajemukan.[1]

Ada dua pemahaman dalam mengartikan pluralisme. Anti pluralis menganggap sebagai menyamakan semua agama (sinkretik). Sedangkan orang yang pro dengan pluralisme mengartikan pluralisme sebagai menghargai antar umat beragama, tidak menghakimi agama lain, serta tidak merasa agamanya paling benar.[2]

Pluralisme juga merupakan suatu paham atau pandangan hidup yang mengakui dan menerima adanya “KEMAJEMUKAN” atau “KEANEKARAGAMAN” dalam suatu kelompok masyarakat. Kemajemukan dimaksud misalnya dilihat dari segi agama, suku, ras, adat-istiadat, dan lain-lain. Segi-segi inilah yang biasanya menjadi dasar pembentukan aneka macam kelompok lebih kecil, terbatas dan khas, serta yang mencirikan dan membedaka kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, dalam suatu kelompok masyarakat yang majemuk dan yang lebih besar atau lebih luas. Misalnya masyarakat Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari berbagai kelompok umat beragama, suku, ras, dan aneka macam budaya atau adat-istiadat.

Menerima berarti menerima adanya perbedaan. Menerima perbedaan bukan berarti menyamakan, tetapi justru mengakui bahwa ada hal-hal yang tidak sama. Kemajemukan juga bukan berarti “tercampur baur” dalam satu “frame” atau “adonan”. Justru di dalam pluralisme atau kemajemukan, kekhasan yang membedakan hal (agama) yang satu dengan yanng lain tetap ada dan tetap dipertahankan.

Jadi pluralisme berbeda dengan singkritisme (penggabungan) dan assimilasi atau akulturasi (penyingkiran). Juga pluralisme tidak persis sama dengan ingkulturasi dimana keaslian tetap dipertahankan.

B. PLURALISME DALAM ISLAM

Allah telah menciptakan manusia dengan berbagai macam keunikan mulai dari warna kulit,jenis kelamin, bahasa, suku, dan postur tubuh serta keanaekaragaman agama dan budaya yang berbeda dari manusia satu dengan yang lainnya. Hal ini merupakan kehendak-Nya yang bersifat kodrat dan hukum Allah : sunatullah ini mencerminkan kekuasaan dan keagungan Tuhan yang layak disembah.

Dalam beberapa ayat Al-Qur’an dijelaskan : 


وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦ خَلۡقُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفُ أَلۡسِنَتِكُمۡ وَأَلۡوَٰنِكُمۡۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّلۡعَٰلِمِينَ ٢٢

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (Q.S ar-Rum 22)
[3]

Kemajemukam memang murni kekuasaan Allah SWT bukan berarti ia tidak mampu menciptakan umat yang satu (sama). Mengapa Allah tidak menghendaki demikian? Karena dengan ini manusia akan diuji kesalehannya, untuk dapat menghormati dan menghargai antara masing-masing ciptaanya dan berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Kalau memang keragaman merupakan sunatullah maka tidak ada sikap lain bagi muslim terhadap pluralisme itu kecuali menerima sepenuhnya.

...وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمۡ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ وَلَٰكِن لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۖ

فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ...

“...Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan...”(Q.S al-Maidah 48) [4]

Dalam hubungannya dengan pluralisme, Islam menetapkan prinsipntuk saling menghormati dan saling mengenal serta juga saling mengakui eksistensi kelompok lain, seperti yang ditegaskan al-Qur’an


يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ

إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujurat 13) [5]

Bahkan Pluralisme merupakan suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia di muka bumi dan merupakan wujud kemurahan Allah yang melimpah kepada manusia. Allah menciptakan umat yang majemuk karena di situ terletak kekuatan penyeimbang dan mekanisme pengawasan antara sesama manusia. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah;

...وَلَوۡلَا دَفۡعُ ٱللَّهِ ٱلنَّاسَ بَعۡضَهُم بِبَعۡضٖ لَّفَسَدَتِ ٱلۡأَرۡضُ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ ذُو فَضۡلٍ

عَلَى ٱلۡعَٰلَمِينَ ٢٥١

“...Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.”(Q.S. al-Baqoroh 251) [6]

Dengan demikian penghormatan atas pluralitas adalah suatu keharusan. Secara tegas Islam menolak dan melarang manusia merendahkan golongan lain dan menganjurkan untuk bersifat khusnudzan (berbaik sangka), dengan kata lain umat satu dapat melihat secara objektif kelemahan diri sendiri dan dapat mengambil pelajaran positif dari orang lain. Hal tersebut diikuti dengan menghindari perbuatan shu’udzan (berburuk sangka, karena perbuatan ini dapat menyebabkan kuranya melihat kelemahan yang ada padanya. Allah telah menunjukkan dalam al-Quran

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ وَلَا

نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُ

واْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ

ٱلظَّٰلِمُونَ ١١

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Q.S. al-Hujurat 11) [7]

Selain manusia diharuskan untuk menghormati dan mengenal kelompok manusia yang berbeda agama, ada sisi penting yang seharusnya terus dilakukan oleh umat manusia yaitu untuk melakukan musyawara dan kerjasama guna membangun peradaban di muka bumi.

Penghormatan atas kemajekan telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam usahanya melakukan konsolidasi dengan masyarakat madinah yang kemudian disebut perjanjian Madinah atau piagam Madinah. Nabi mampu menyatukan masyarakat Madinah yang multi agama dan multi etnik. Nabi menjumpai tiga komunitas agama: Muslim, Yahudi, dan Musyrik. Pertama Muslimin terdiri dari Muhajirin dan Anshar. Kedua golongan Yahudi terdiri dari banu Qaynuqa, banu Nadhir, dan banu Qurayzah. Ketiga yaitu kaum Musyrik yang menyembah berhala(paganisme)[8].

Untuk memelihara keamanan, keselamat dan hidup damai maka harus ada undang-undang yang disepakati bersama. Hal ini diwujudkan Rasul dalam piagam Madinah. Piagam ini merupakan bukti autentik bahwa Islam mendukung dan memerintahkan umatnya melakukan kerjasama dengan kelompok lain meskipun berbeda agama dan keyakinan. Al-Qur’an menjelaskan bahwa fenomena ketidaksamaan sosial tersebut sebagai sunatullah, sebagai hukum alam dan realitas empiris yang ditakdirkan terhadap dunia manusia.[9]

Dengan demikian pralitas masyarakat baik mengenai sifat manusia maupun kemaajemukan budaya sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam tidak terkecuali pluralitas masyarakat Indonesia. Kemajemukan suatu masyarakat atau bangsa haruslah tetap dipelihara dan dijaga bersama demi tegaknya keadilan dan keamanan hidup manusia yang berbangsa dan bernegara.

C. Pluralisme di Indonesia

Sebai Negara kepulauan terbesar di Dunia yang menjadi titik persilangan antara benua dan samudra, dan dengan segala keragaman sumber daya alam, Indonesia menjadi tujuan utama para penjelajah dunia. Keadaan tersebut memberikan makna bahwa “tanah” Indonesia memiliki sifat menerima dan menumbuhkan. Jika kita tarik dalam konsep sosial budaya, maka budaya dan ideologi dapat masuk ke Indonesia asal dapat dicerna oleh sistem sosial dan tata nilai setempat dan sangat mungkit untuk berkembang secara berkesinambungan.[10]

Indonesia adalah negara yang memiliki kemajekan dalam bebagai hal. Selain memilki keragaman suku dan budaya, Indonesia juga memiliki keragaman agama. Agama yang dianut bangsa Indonesia bukan hanya enam agama yang diakui pemerintah saja (Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha, Kong Hu Cu) tetapi ada banyak agama-agama lokal tersebut pada umumnya memiliki corak ajaran yang sama dengan agama-agama Austronesia. Kelompok masyarakat yang menganut agama lokal misalnya suku badui di Banten, suku Tengger, suku Batak Toba dengan agama Parmalim, Agama wana di Sulawesi tengah dan masih banyak lagi.[11]

Berkaitan dengan unsur-unsur Islam yang ada di Indonesia. Sulit bagi kita untuk menentukan orang Indonesia pada suatu agama tertentu. Jika memaksakan diri untuk menyeragamkan agama di Indonesia maka yang terjadi adalah intoleransi. Keragaman harus diterima. Keragaman praktik keagamaan sulit disimpulkan dalam ruang terbatas ini. Tradisi toleransi adalah hal yang perlu dilestarikan untuk kesinambungan kehidupan.

Dalam berbagai bidang kehidupan, keberagaman, dan perbedaan pasti ada. Di Negara Indonesia tidak dapat dipungkiri bahwa keberagaman baik agama maupun budaya cukup banyak. Indonesia telah meletakkan Pancasila sebagai dasar Negara. Bahkan sebelum proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dikumandangkan. Pancasila telah dipersiapkan untuk dijadikan landasan dasar dalam membentuk suatu Negara kesatuan. Pancasila dijadikan sebagai pandangan hidup bangsa, filsafah bangsa, serta ideologi bangsa Indonesia. Oleh karena itu hanya pancasila sajalah yang harrus dijadikan acuan , patokan ataupun ukuran dalam hidup bernegara, berbangsa, maupun masyarakat.

Pluralisme justru dipertegas oleh pancasila, sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia. Dalam sila tersebut terkandung makna bahwa mekipun bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, namun tetap disatukan dalam suatu Negara, yaitu Negara Kesatuan Indonesia. Selain itu, Indonesia juga memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang meneegaskan bahwa meskipun berbeda-beda tetap satu jua.

Dengan menggunakan nilai-nilai dasar Pancasila, bangsa Indonesia dapat mengatasi masalah Pluralisme yang belakangan lebih sering terjadi. Di Indonesia terdiri dari banyak suku agama,politik dan budaya, maka di dalamnya juga terdat pluralisme antara lain:

1) Pluralisme Agama

Ada banyak agama atau kepercayaan yang dianut oleh bangsa Indonesia. Setiap warga Negara Indonesia berhak menganut agama sesuai dengan kepercayaan masing-masig. Hal ini dijamin dalam undang-undang Dasar 1945. Dari keberagaman agama inilah kemudian muncul pluralisme agama di Indonesia.

Pluralisme agama bisa diartikan sebagai upaya saling mengenal antar agama yang satu dengan agama yang lainnya. Disitu kemudian terjadi perluasan wawasan dengan tidak bermaksud mendiskrimitasikan. Ada penghargaan terhadap perbedaan, bukan mencemooh perbedaan tersebut. Bahkan pada kondisi tertentu menempatkan perbedaan tersebut sebagai nilai kebenaran bentuk lain dari pada yang dinyatakan dalam agama

2) Pluralisme Politik

Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat pluralisme politik di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya partai politik yang terbentuk dan mengikuti pemilu. Anggota partai politik pun berasal dari berbagai macam latar belakang yang berbeda. Dengan latar belakang yang berbeda, kemudian akan memunculkan perbedaan pendapat ataupun pandangan dalam melihat suatu permasalahan. Namun karena kurangnya pemahaman tiap individu mengenai makna pluralisme, kemudian muncul sikap antipluralisme. Sikap antipluralisme ini muncul karena kurangnya pemahaman mengenai Pancasila. Selain itu rasa kebangsaan terhadap Indonesia juga semangkin menurun. Rasa memiliki dan menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup semangkin berkurang.

3) Pluralisme Sosial-Budaya

Di Indonesia terdapat berbagai macam suku dan budaya. Pluralitas tidak bisa dihindarkan apalagi ditolak meskipun manusia tertentu cenderung menolaknya karena pluralitas dianggap ancaman terhadap eksistensinya atau eksistensi komunitasnya.

Pemahaman Pluralisme budaya diperlukan sejalan dengan dinamika masyarakat di era otomi daerah. Di lain pihak, pluralisme budaya cenderung dianggap sebagai kambing hitam, mengingat belum bagusnya implementasi otonomi daerah, maraknya anarkisme, dan konflik sosial. Pemerintah tentu perlu memperbaiki tatanan otonomi daerah agar pluralisme dapat dilihat secara lebih kuat.

-----------------

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pluiralisme adalah merupakan suatu paham atau pandangan hidup yang mengakui dan menerima adanya “KEMAJEMUKAN” atau “KEANEKARAGAMAN” dalam suatu kelompok masyarakat. Kemajemukan dimaksud misalnya dilihat dari segi agama, suku, ras, adat-istiadat, dan lain-lain.

Pluralisme dalam Islam bisa diartikan Allah telah menciptakan manusia dengan berbagai macam keunikan mulai dari warna kulit,jenis kelamin, bahasa, suku, dan postur tubuh serta keanaekaragaman agama dan budaya yang berbeda dari manusia satu dengan yang lainnya. Hal ini merupakan kehendak-Nya yang bersifat kodrat dan hukum Allah.

Pluralisme di Indonesia dibagi menjadi tiga yaitu ; fluralisme agama, fluralisme politik, dan fluraliusme seni-budaya.

---------------------
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Al-Qur’an dan isu-isu Kontemporer, Yogyakarta: Elsaq Press, 2011, hlm 12

Ali Usaman, Menegakkan Pluralisme Fundamentalisme Koservatifdi tubuh Muhammadiyah, Jakarta: LSAF, 2008, hlm 73

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang : Cv. Al-Waah, 1989), hlm. 644

Ibid

Ayang Utriza Nway, “Demokrasi dalam Konteks Piagam Madinah Arkeolog Demokrasi dalam Islam”, Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi 16 Tahun 2004, hlm. 100

Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interprestasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 299

Yudi Latif. Negara Paripurna : Historitas, Rasionalitas dan Aktualitas Panasila, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2011, hlm 3.

------------------
Footnote
------------------

[1]Abdurrahman, Al-Qur’an dan isu-isu Kontemporer, Yogyakarta: Elsaq Press, 2011, hlm 12


[2]Ali Usaman, Menegakkan Pluralisme Fundamentalisme Koservatifdi tubuh Muhammadiyah, Jakarta: LSAF, 2008, hlm 73


[3] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang : Cv. Al-Waah, 1989), hlm. 644


[4]Ibid, hlm. 168


[5]Ibid, hlm 847


[6] Ibid, hlm. 62


[7]Ibid, hlm. 847


[8]Ayang Utriza Nway, “Demokrasi dalam Konteks Piagam Madinah Arkeolog Demokrasi dalam Islam”, Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi 16 Tahun 2004, hlm. 100


[9]Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interprestasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 299


[10]Yudi Latif. Negara Paripurna : Historitas, Rasionalitas dan Aktualitas Panasila, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2011, hlm 3.


[11]Ibid, hlm, 2

No comments:

Post a Comment