KELOMPOK 3
NAMA NIM
1. Reza Daman Huri 1611124
2. Shinta 1611127
3. Siti Hajar 1611128
NAMA NIM
1. Reza Daman Huri 1611124
2. Shinta 1611127
3. Siti Hajar 1611128
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
METODE PERIWAYATAN HADITS
A. Pengertian Periwayatan Hadits
1. Pengertian Periwayatan Hadis
Secara Bahasa periwayatan diambil dari kata Al-Riwayat dalam bahasa Arab yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja “rawa yarwi riwayatan” yang dapat berarti al-naql (penukilan), Al-zikr (penyebutan), al-fatl (pintalan) dan al-istiqa (pemberian minum sampai puas), atau dalam istilah ini terkait dengan kegiatan menghimpun kitab-kitab hadis yang dikenal riwayat hadis.
Secara istilah periwayatan yang disebut al-riwayat ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.
2. Pengertian Hadis
Hadis secara bahasa berarti apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (taqrir), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (bi’tsah) dan terkadang juga sebelumnya, sehingga arti hadits disini semakna dengan sunnah.
Sedangkan menurut istilah
اقؤ ا له صلى عليه و سام وافعا له و ا خو ا له
“segala ucapan Nabi SAW, segala perbuatan dan juga segala keadaan beliau”
Jadi, periwayatan hadits adalah proses penerimaan (naql dan tahammul) hadits oleh seorang rawi dari gurunya dan setelah dipahami, dihafalkan, dihayati, diamalkan (dhabth), ditulis di-tadwin (tahrir), dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut.1
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis Nabi, yaitu:
1. Orang yang meriwayatkan hadis dengan menyebutkan isnad, dikenal dengan ar-rawiy (periwayat).
2. Apa yang diriwayatkan (al-marwiy)
3. Susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad)
4. Lafal hadis yang terdiri dari makna dan ungkapan dikenal dengan matan.
5. Kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al- Hadis).
B. Sejarah Perkembangan Hadis
1. Pada Masa Rasulullah
Rasulullah hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Segala perbuatan, ucapan dan sifat Nabi bisa menjadi contoh yang nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada masa tersebut.[1] Pada masa ini, hadis yang diterima oleh para sahabat sangat cepat tersebar di masyarakat karena beberapa faktor. Diantaranya :
1. Rasulullah rajin menyampaikan dakwah.
2. Rasulullah membuka masjid ta’lim.
3. Rasulullah memancing para sahabat untuk bertanya tentang apa saja.
4. Karakter ajaran Islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat orang di lingkungannya.
5. Kebijaksanaan Nabi yang mengutus para sahabat ke berbagai daerah untuk berdakwah ataupun memangku jabatan. [2]
2. Pada Masa Sahabat
Setelah Rasulullah wafat, kepemimpinan umat islam berada di tangan sahabat (khalufa’ al-rassyidin ).
a. Abu Bakar Ash-Shidiq
Pada masa kepemimpinan Abu Bakar ia menerapkan pembatasan hadis. Pembatasan tersebut dimaksud agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan nama Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dalam permasalahan yang umum. [3]
b. Umar bin Khattab
Pada masa Umar pembatasan masih dilakukan sama seperti pada saat kepemimpinan Abu Bakar. Dia melarang periwayatan hadis. Namun pembatasan itu tidak berarti bahwa kedua khalifah tersebut anti-periwayatan.
c. Ustman bin Affan
Pada masa Ustman tidak berbeda dengan apa yang ditempuh oleh kedua khalifah sebelumnya. Namun, langkah yang diterapkan tidak setegas langkah khalifah Umar bin Khattab.Ustman hanya meminta para sahabat agar tidak meriwayatkan hadis yang tidak mereka dengar pada masa Abu Bakar dan Umar. [4]
d. Ali bin Abi Thalib
Pada masa Ali situasi umat Islam telah berbeda daripada masa sebelumnya karena masa itu merupakan masa krisis dan fitnah dalam masyarakat. Terjadi peperangan anatara beberapa kelompok karena untuk kepentingan politik dan telah mendorong pihak-pihak tertentu untuk melakukan pemalsuan hadis.
3. Pada masa Tabi’in
Sesudah masa sahabat, periwayatan hadis dilanjutkan oleh tabi’in. Pada masa ini periwayatan hadis pun sudah dibakukan. Hal ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk menyelamatkan hadis dari usaha usaha pemalsuan hadis. [5]
Jadi, dapat disimpulkan dari beberapa periode periwayatan hadis bahwa perjalanan hadis hingga era kodifikasi tidak selalu mulus dan murni. Bukan saja dari rangkaian sanadnya tetapi juga dari materi hadis itu sendiri. Hadis hadis nabi tersebut, sampai masa pembukuannya secara resmi pada zaman umar bin Abdul Azis pada tahun 99 H, masih bercampur dengan kata kata dan fatwa sahabat. Hal ini menyebabkan jumlah materi hadis menjadi menggelembung, tetapi setelah diseleksi menjadi sedikit lagi.
C. Metode Periwayatan Hadis
Adapun metode mempelajari hadits / menerima hadits yang biasa di pakai secara umum oleh ulama berbagai generasi adalah:
1. Al-Sima’, yaitu seorang guru membaca hadits yang dihafalnya atau yang ada di kitab tertentu di hadapan murid, orang mendengarkan kata-katanya. Metode ini yang sering digunakan pada masa nabi.
2. Al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh. Yaitu seorang murid membaca hadits (yang boleh jadi diperoleh dari guru yang lain) di depan guru.
3. Al-Ijazah. Metode ini adalah sebuah metode dengan pemberian izin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan buku hadits tanpa membaca hadits tersebut sata demi satu.
4. Al-Munawalah. Yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadits atau kitab utuk diriwayatkan. Metode ini mirip ijazah ada ungkapan eksplisit dari guru bahwa murid diberi ijazah boleh meriwayatkan hadits yang diberikan.
5. Al-Mukatabah yaitu sorang guru menulis hadits untuk seseorang.misalnya tulisan seorang ulama tentang hadits yang dikirimkan kepada ulama lain.
6. I’lam al-Syaikh yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa hadits-hadits yang ada dalam kitab tertentu itu hasil periwayatan yang diperoleh guru dari si fulan, tanpa menyebut izin / ijazah periwayatan si murid kepada orang lain.
7. Al-Wasyiyah yaitu seorang guru mewasiatkan buku-buku hadits kepada muridnya sebelum pergi atau meninggal.
8. Al-Wijada yaitu ada orang yang menemukan catatan atau buku hadits yang ditulis oleh orang lain tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkan hadits di bawah bimbingan dan kewenangan seseorang.
D. Bentuk Periwayatan Hadits
A. Bil Lafadzi
Dalam kamus besar Indonesia, periwayatan adalah kata yang memperoleh awalan “me” dan akhiran “an” yang berasal dari kata “riwayat” yaitu cerita yang turun temurun. Periwayatan hadis dengan lafadz dimaksudkan adalah periwayatan yang sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata. Riwayat hadis dengan lafal ini sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya.
Akan tetapi dalam kenyataannya periwayatan hadis dengan lafal ini sangat sedikit jumlahnya. Ciri-ciri hadis yang memang harus diriwayatkan dengan lafal ini hanya terbatas pada antara lain:
a. Hadis yang merupakan lafal-lafal ibadah (ta’abbudiyyah), seperti tentang bacaan azan, zikir, doa, syahadat. Hadis yang bisa dijadikan contoh untuk lafal ibadah ini seperti bacaan dzikir yang diriwayatkan dari Shaddad bin Aus ra. Bahwa Rasulullahsaw.bersabda :
سيد الاستغفار: اللهم أنت ربي، لا إله إلا أنت، خلقتني وأنا عبدك، وأنا على عهدك ووعدك ما استطعت، أبوء لك بنعمتكّ عليّ، وأبوء لك بذنبي فاغفر لي، فإنه لا يغفر الذنوب إلا أنت، أعوذ بك من شر ما صنعت. إذا قال
حين يمسي فمات دخل الجنة، أو كان من أهل الجنة، وإذا قال حين يصبح فمات من يومه مثله.
حين يمسي فمات دخل الجنة، أو كان من أهل الجنة، وإذا قال حين يصبح فمات من يومه مثله.
Artinya: “Paling tingginya ucapan istighfar adalah: ‘Ya Allah Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau, Engkau menciptakanku maka aku adalah hamba-Mu. Dan atas janji dan ancaman-Mu aku lakukan semampuku. Aku akui segala nikmat-Mu bagiku, dan ku akui segala dosa ini pada-Mu maka ampunilah aku karena tiada yang bisa mengampuni segala dosaku selain Engkau. Aku berlindung pada-Mu dari keburukan apa yang aku lakukan’. Jika ini dibaca pada waktu sore kemudian ia mati maka ia langsung masuk surga atau ia termasuk dari penduduk surga, demikian juga jika dibaca pada waktu pagi.”
b. Jawāmi’ al-kalimah (ungkapan-ungkapan Nabi saw yang sarat makna) karena Nabi saw memiliki faṣaḥaḥ dalam perkataan yang tidak dimiliki yang lainnya.Bisa diambil contoh seperti sabda Nabi saw tentang umat Islam. Dari Abū Hurairah ra.bahwa Rasulullah bersabda:
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده . والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه
artinya: “Orang Islam itu adalah orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya.”
c. Hadis yang berkaitan dengan masalah aqidah seperti tentang dzat dan sifat Allah, rukun Islam, rukun iman, dan sebagainya. Untuk kategori ini penulis mengambil contoh hadis tentang sifat Allah.
يقبض الله الأرض يوم القيامة، ويطوي السماء بيمينه، ثم يقول: أنا الملك، أين ملوك الأرض
Artinya: “Pada hari kiamat Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya. Kemudian Dia berfirman; ‘Akulah yang Raja Diraja, dimanakah para raja dunia itu?’”[6]
Namun ketika dihadapkan pada persoalan bahwa hadis bukan hanya berbentuk perkataan saja tetapi juga dengan perbuatan dan ketetapan Nabi saw, para ulama yang bersikeras mempertahankan riwayat hadis secara lafal, seperti Abu Bakar al-Arabi, Muhammad bin Sirin, Raja’ bin Haywah, Qasim bin Muhammad, dan Sa’lab bin Nahwiy, mereka berpendapat bahwa periwayatan redaksi hadisnya secara makna sepenuhnya hanya diperbolehkan pada tingkatan sahabat, mengingat karena para sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi (faṣaḥaḥ), meskipun tidak setingkat dengan susunan kalimat Nabi saw. dan mereka telah menyaksikan secara langsung keadaan dan perbuatan Nabi saw. [7]
Sebagaimana yang terdapat dalam suatu riwayat bahwa Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk-bentuk/cara-cara sebagai berikut:
1. Cara lisan dimuka orang banyak yang terdiri dari kaum laki-laki.
2. Pengajian rutin dikalangan kaum laki-laki.
3. Pengajian diadakan juga dikalangan kaum wanita setelah kaum wanita memintanya.
Selain itu masih ada riwayat lain yang menyatakan cara-cara Nabi Menyampaikan hadisnya melalui yaitu:
1. Dengan lisan dan perbuatan dihadapan orang banyak, di mesjid pada waktu malam dan subuh.
2. Hadis Nabi disampaikan sebagai teguran terhadap orang yang melakukan “korupsi” berupa penerimaan hadiah dari masyarakat.
3. Hadis Nabi disampaikan dengan cara lisan, tidak dihadapan orang banyak, berisi jawaban yang diajukan oleh sahabat dan bentuk jawaban Nabi itu berupa tuntutan tekhnis suatu kegiatan yang berkaitan dengan agama.
4. Cara Nabi juga menyampaikan hadisnya selain cara lisan juga secara permintaan penjelasan terhadap sahabat, berupa taqrir atas amalan ibadah sahabat yang belum dicontokan langsung oleh Nabi.
5. Riwayat lain juga mengatakan cara Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk tulisan.
6. Dalam bentuk lain juga Nabi menyampaikan hadisnya tidak dalam bentuk kegiatan melainkan berupa keadaan. Itulah tadi bentuk-bentuk periwayatan hadis dari Nabi dengan beberapa bentuk baik melalui perkataan, berbuatan, taqrir dan ihwal lainnya.[8]
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya periwayatan secara lafaz yaitu :
1. adanya hadis hadis yang tidak mungkin diriwayatkan secara lafaz, karena tidak adanya redaksi dari nabi seperti hadis fi’liyah, hadis taqririyah, hadis mauquf dan hadis maqthu’.
2. Adanya larangan nabi untuk menulis selain al-Quran.
3. Sifat dasar manusia yang pelupa dan senang kepada kemudahan. [9]
B. Bil Ma’na
Dalam sejarah perjalanan hadits diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah SAW. periwayatan hadits itu diperketat agar tidak terjadi periwayatan sesuatu yang bukan dari Nabi SAW tetapi disandarkan kapada Nabi. Disamping itu, hadits harus dilakukan apa adanya, tidak ada penambahan atau pengurangan. Diharapkan, redaksi hadits tidak mengalami perubahan.
Tetapi dalam kenyataan, banyak dijumpai hadits yang dimaksudkannya sama diungkapkan dengan redaksi yang berbeda-beda. Karena itu, kita menjumpai komentar hadits “muttafaq ‘alaih, wal-lafdzu li muslim, atau wa lafzu lil- bukhori”. Tampaknya peluang riwayat hadits dengan makna itu memang ada. Bukankah hadits itu tidak hanya berupa ucapan, tetapi terkadang berupa tingkah laku nabi. Dalam mendeskripsikan tingkah laku nabi yang diskasikan oleh para sahabat, boleh jadi akan muncul redaksi yang berbeda kendati maksudnya sama. Bahkan, karena kemampuan daya tangkap masing-masing sahabat berbeda, maka boleh jadi kesimpulannya juga berbeda.
Dalam bukunya Ahmad Muhammad Šakir yang berjudul Ihtišar Ulum Al-Hadis, dalam kaitannya dengan Periwayatan dengan makna. Bahwa seorang perawi yang tidak mengetahui makna hadis sesungguhnya tidak boleh baginya meriwayatkan hadis dengan sifatnya itu. Namun demikian Jumhur Ulama yang lain berpendapat, bahwa: boleh bagi perawi hadis menyebut makna bukan lafal, atau meriwayatkan hadis dengan makna apabila dia seorang yang mengetahui bahasa Arab dengan sempurna dan cara-cara orang arab menyusun kalimat-kalimatnya, lagi dia sangat mengetahui makna-makna lafal dan mengetahui pula hal-hal yang bisa merobahkan makna dan yang tidak merobahkannya, Jika ia bersifat demikian, bolehlah dia menukilkan lafal hadis dengan makna, karena dia dengan pengertiannya mendalam dapat memelihara riwayatnya dari perobahan makna tersebut. Begitu juga dengan pendapat Malik menurut nukilan Al-Khalil ibn Ahmad dan Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal boleh kalau yang diriwayatkan itu bukan hadis marfu’. Bukti yang lebih empiris yang lebih akurat adalah kesepakatan umat memperbolehkan seorang ahli hadis menyampaikan hadis dengan maknanya saja bahkan dengan selain bahasa arab.
Bukti lain adalah bahwa periwayatan hadis dengan maknanya telah dilakukan oleh para sahabat dan ulama salaf periode pertama. Seringkali mereka mengemukakan suatu makna dalam suatu masalah dengan beberapa redaksi yang berbeda-beda. Hal ini terjadi karena mereka berpegang kepada makna hadis bukan kepada lafalnya. Intinya bahwa periwayatan hadis dengan lafal di utamakan dari pada periwayatan hadis dengan makna. Karena apabila si perawi bukan seorang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, maka tidak boleh baginya meriwayatkan hadis dengan makna. Semua ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang demikian itu wajib menyampaikan dengan hadis persis sebagaimana yang ia dengarnya.
Seluruh ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang tidak mengetahui hal-hal yang merisaukan makna hadis yang diriwayatkan dengan makna, tidak boleh meriwayakan hadis dengan makna. Adapun orang-orang yang mengetahui hal-hal yang merusakkan makna dan yang tidak merusakkannya, maka jumhur ulama membolehkan dia meriwayatkannya hadis dengan makna dengan memenuhi syarat-syarat yang sudah diterangkan itu. Dengan demikian sebagaimana pendapat para ulama maka untuk lebih hati-hati dan menghidari kesalahan dalam meriwayatkan hadis, maka meriwayatkan hadis dengan lafal lebih utama dari pada dengan makna.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya periwayatan secara makna
1. Mimiliki pengetahuaan bahasa arab,dengan demikian periwayatan matan hadis tidak mengalami kekeliruan.
2. Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa misalnya, karena lupa susunan secara lafaz atau harfiyah.
3. Yang diriwayatkan dengan makna bukan merupakan bentuk bacaan-bacaan yang sifatnya ta’abbudi, seperti zikir, do’a ,azan ,takbir, dan syahadat, serta bukan bentuk jawami al kalim.
4. Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya hadis secara resmi.[10]
Penyebab perbedaan lafaz dan makna
1. Sahabat yang paling sering ikut Nabi yaitu Abu Hurairah as.
2. Tingkat kecerdasan sahabat berbeda.
3. Waktu masuk islam yang berbeda
----------------------
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Endang Soetari Activity Diagram, M.Si.1997. ilmu Hadits. Bandung: Amal Bakti Perss.
M.Syhudi Ismail.1998. Kaedah Kesahihan Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang.
Ritongo, A.Rahman.2011. Studi Ilmu- Ilmu Hadis. Yogyakarta : Interpena.
Syaikh Manna’ Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Hadits IV,(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,2009
Sa’dullah, Drs. Assa’idi , MA.1996. Hadis-Hadis Sekte. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ash Shiddieqy, Hasbi.1994. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits II(Jakarta: PT Bulan Bintang.
Khumaidi, Irham. 2008. Ilmu Hadits untuk Pemula ,Jakarta Barat:CV Artha Rivera.
-----------
FOOTNOTE
[1]. Syaikh Manna’ Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Hadits IV,(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,2009), hlm. 198
[2] . Syaikh Manna’ Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Hadits IV,(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,2009), hlm. 200
[3]. Syaikh Manna’ Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Hadits IV,(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,2009), hlm. 202
[4]. Syaikh Manna’ Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Hadits IV,(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,2009), hlm. 203
[5]. Syaikh Manna’ Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Hadits IV,(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,2009), hlm. 205
[6] Drs. Assa’idi Sa’dullah, MA. Hadis-Hadis Sekte. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).hlm.100
[7] Ash Shiddieqy, Hasbi. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits II(Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994), hlm 30-31
[8] Khumaidi,Irham, Ilmu Hadits untuk Pemula (Jakarta Barat:CV Artha Rivera, 2008), hlm 124-125
[9] . A. Rahman Ritonga, Op Cit, hlm. 181
[10] M.Syhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi.( Jakarta: Bulan Bintang.1998).
No comments:
Post a Comment