Thursday, July 20, 2017

PERKULIAHAN USHUL FIQH TEMA "USHUL FIQH KONTEMPORER"

PERKULIAHAN USHUL FIQH

USHUL FIQH KONTEMPORER



OLEH:

RAHMAT NUGRAHA NOVRIANDI (1611123)

KESI SUNDARI (1611116)

MERIANI (1611119)


JURUSAN/PRODI: TARBIYAH/PAI

DOSEN PENGAMPU:

RUDINI, M. Pd. I


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK

BANGKA BELITUNG

2017


-------------------------

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Turunnya syari’at pada dalam arti proses munculnya hukum-hukum syari’at hanya terjadi masa kenabian, sebab syari’at turun dari Allah dan itu berakhir dengan turunnya wahyu setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Dan disaat itu pula hukum syari’at belum dibuat oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri. Selanjutnya para fuqoha dan mujtahidin bukan membuat hukum tetapi mencari dan menyimpulkannya dari sumber-sumber hukum yang benar. Dalam perkembangan kajian-kajian tentang syari’at yang mulai berkembang, banyak memunculkan pemikir-pemikir hukum syari’at sesuai dengan zaman dan tempat asalnya sehingga pola pemikiran mereka tidak sedikit terpengaruh dengan kondisi dan situasi tempat tinggal mereka.

Dari sini kita akan memilah perkembangan fiqh sesuai dengan zaman dan pola pemikiran para pencetusnya, serta adakah hubungan pola pemikiran terdahulu dengan yang sekarang. Kami pemakalah akan membahas sebuah argumen dan materi yang berkaitan dengan Ushul Fiqh Kontemporer. Tetapi,kami pemakalah lebih banyak melakukan argumen berkaitan dengan fiqh kontemporer dan sedikit membahas atau mengulang materi yaitu dari ushul fiqh karena materi dari ushul fiqh pada pertemuan-pertemuan sebelumnya yang telah dibahas. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat dan bisa dikembangkan di masa yang akan datang.

B. Rumusan Masalah

1. Pengertian Fiqh dan Ushul Fiqh ?

2. Apa saja gagasan dari pembaharuan Ushul Fiqh ?

3. Bagaimana corak atau aliran dari Ushul Fiqh Kontemporer ?

4. Bagaimana pemikiran ushul Fiqh kontemporer

5. Ruang lingkup kajian Ushul Fiqh Kontemporer ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian dari Fiqh dan Ushul Fiqh..

2. Untuk mengetahui gagasan pembaruan pada ushul fiqh

3. Untuk mengetahui aliran dari Ushul Fiqh kontemporer

4. Untuk mengetahui ruang lingup serta pemikiran ushul Fiqh kontemporer

-----------------------

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Fiqh dan Ushul Fiqh

Definisi Ushul Fiqh dilihat dari sisi dua kata yang membentuknya. Ushul Fiqh berasal dari bahasa Arab Ushul Al-Fiqh yang terdiri dari 2 kata, yaitu al-Ushul al-Fiqh.

a. Al-Ushul

Al-Ushul adalah jamak dari kata al-ashl, menurut bahasa berarti, landasan tempat membangun sesuatu. Menurut istilah, seperti dikemukakan wahbah az-Zahuli, kata al-ashl mengandung beberapa pengertian.

1) Bermakna dalil, seperti dalam contoh

الا صل فى و جو ب الصلو ة الكتا ب و السنة

“Dalil wajib sholat adalah al-qur’an dan sunnah”
2) Bermakna kaidah umum satu ketentuan yang bersifat umum yang berlaku pada seluruh cakupan. Seperti contoh :

بني الا سلا م علي خمسة خسة اصول

“Islam di bangun di atas lima kaidah umum”.

3) Bermakna Al-Rajih (yang lebih kuat dari beberapa kemungkinan). Contoh;

الا صل في الكلا م الحقيقة

“Pengertian yang lebih kuat dari suatu perkataan adalah pengertian hakikatnya”.
4) Bermakna asal’, tempat menganalogikan sesuatu yang merupakan salah satu dari rukun qiyas. Misalnya, khamar merupakan asal’ (tempat mengkiaskan narkotika).

5) Bermakna sesuatu yang diyakini bilamana terjadi keraguan dalam satu masalah.[1]

b. Al-Fiqh

Kata kedua yang membentuk istilah ushul al-fiqh adalah kata al-fiqh. Kata al-fiqh menurut bahasa berarti pemahaman. Fiqh adalah ilmu tentang (himpunan) hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia ditinjau dari apakah perbuatan itu diharuskan (wajib), sunah, atau haram untuk dikerjakan. Fiqh menurut bahasa adalah mengetahui sesuatu dengan mengerti. Adapun fiqh menurut istilah adalah ilmu tentang hokum syara yang bersifat amali diambil dari dalil-dalil yang tafsili.[2] Menurut istilah, al-fiqh dalam pandangan az-Zuhaili, terdapat beberapa pendapat tentang definisi fiqh.

Abu Hanifah mendefinisikan sebagai berikut: [3]

معر قة النفس ما لهاو ما عليها

“Pengetahuan diri seseorang tentang apa yang menjadi hakikatnya, dan apa yang menjadi kewajibannya atau dengan kata lain, pengetahuan seseorang tentang apa yang menguntungkan dan apa yang merugikan.”
Menurut ulama’ kalangan Syafi’iyah

العلم با لا حكام الشر عية العملية المكتسب من اد لتها التفصيلية

“Pengetahuan tentang hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan, yang digali dari satu persatu dalilnya.”

Fiqh adalah hukum Islam yang tingkat kekuatannya hanya sampai Zhan, karena di tarik dari dalil-dalil yang dzannya. Bahwa hukum fiqh itu adalah zhannya sejalan pula dengan kata “al-muktasab” dalam definisi tersebut yang berarti “diusahakan” yang mengandung pengertian adanya campur tangan akal pikiran manusia dalam penarikannya dari al-qur’an dan sunnah Rasulullah. Objek kajian ilmu fiqih adalah perbuatan mukallaf, ditinjau dari segi hukum syara’ yang tetap baginya.

Seorang faqih membahas tentang jual beli mukallaf, sewa-menyewa, pegadaian, perwalian, shalat, puasa, haji, pembunuhan, qazhaf, pencurian, ikrar dan wakaf yang dilakukan mukalaf, supaya mengerti tentang hukum syara’ dalam segala perbuatan itu. Maka tujuan ilmu fiqih adalah menerapkan hukum-hukum syariat terhadap perbuatan dan ucapan manusia. Jadi, ilmu fiqih itu adalah tempat kembali seorang mufti dalam fatwanya dan tempat kembali seorang mukallaf untuk mengetahui hukum syara’ yang berkenaan dengan ucapan dan perbuatan yang muncul dari dirinya.[4]

Pengertian kata Al-Ashl’u yang dimaksud bila dihubungkan dengan makna al-dalil. Dalam pengertian ini, maka kata ushul al-fiqh berarti dalil-dalil fiqih, seperti al-qur’an, sunnah Rasulullah, Ijma’, qiyas, dan lain-lain DR. H. Muslim Ibrahim (Pengantar Fiqh Muqaaran) menyatakan bahwa Fiqh adalah suatu ilmu yang mengkaji hukum syara’ yaitu titah Allah yang berkaitan dengan aktivitas Mukallaf berupa tuntutan, seperti wajib, haram, sunat, makruh; atau pilihan, yaitu mubah; ataupun ketetapan, seperti sebab, syarat dan mani’, yang kesemuanya digali dari dalil-dalilnya yang rinci, seperti ijma’; Qiyas, dan lain-lain. [5]

Menurut Nur Cholis Madjid, “Fiqh” adalah pemahaman keseluruhan ajaran agama, seperti dimaksudkan dalam kitab suci; tidaklah seharusnya orang-orang yang beriman maju ( ke medan perang) semuanya. Alangkah baiknya kalau dari setiap kelompok dari mereka itu ada sebagian golongan yang pergi ( ke medan perang), agar (yang lainnya) dapat memperdalam pemahaman tentang agama, dan agar mereka ini dapat mengingatkan (mengajari) kaum mereka (yang pergi ke medan perang) bila telah kembali kepada mereka, supaya mereka itu dapat menjaga diri (dari perbuatan yang tidak benar).(At-Taubah:122). [6]

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian kontemporer berarti sewaktu, semasa, pada waktu atau masa yang sama, pada masa kini,dewasa ini. Jadi dapat disimpulkan bahwa fiqh kontemporer adalah tentang perkembangan pemikiran fiqh dewasa ini. Dalam hal ini yang menjadi titik acuan adalah bagaimana tanggapan dan metodologi hukum islam dalam memberikan jawaban terhadap masalah-masalah kontemporer [7].

B. Gagasan Pembaharuan Ushul Fiqh

Menurut Muḥsin ‘Abd al-Ḥamid, guru Besar Hukum Islam Universitas Baghdad, Iraq, mengatakan bahwa ada dua macam Uṣul al-fiqh, yaitu:[8]

1. Uṣul al-fiqh permanen yang tidak memiliki ruang bagi perubahan. Ia adalah Alquran dan Sunah yang senantiasa memelihara kehidupan umat Islam.

2. Uṣul al-fiqh pelengkap yang mengikuti Alquran dan Sunah. Yang terakhir ini memberikan peluang untuk berijtihad.

Dalam lingkup pembaruan Uṣul al-fiqh, persoalan ini cukup penting; baik dengan cara yang diserukan oleh Ḥasan Ṭurabi; dengan cara yang sedikit maupun banyak terkait dengan Uṣul al-fiqh yang selama ini dikenal; maupun dengan cara-cara yang lainnya. Persoalan ini juga perlu dimusyawarahkan dan diungkapkan dari berbagai aspkenya. Tentang persoalan ini, Muḥammad Risyād Khalīl telah memberikan contoh berupa pendapat orang yang menolak pembaruan dari segi prinsip

Sementara propaganda pembaruan Uṣūl al-fiqh menawarkan berbagai tingkat pembaruan yang berbeda-beda satu sama lain. Ḥasan Ṭurabi, kaum modernis, dan sebagian kaum rasionalis di bidang pemikiran Islam, misalnya menghendaki reformasi total; baik pada isi maupun format Uṣul al-fiqh. Ada juga kelompok yang mempropagandakan pembaruan hanya terhadap formatnya saja. Mereka adalah kelompok yang menyeru pada upaya penyederhanaan dan pelepasan ilmu Uṣul al-fiqh dari bidang lain. Kelompok ini diwakili antara lain oleh al-Bayānūnī (Syria) dan Ammar Ṭalābi (Aljazair).

Selain itu, ada kelompok lain yang menghendaki pembaruan Uṣul al-fiqh dari segi isinya, selain Alquran dan Sunah nabi serta perkara-perkara yang telah dinaskan oleh keduanya. Kelompok ini diwakili antara lain oleh Muḥsin ‘Abd al-Ḥamid (Irak) dan Ṭāhā Jābir Fayyāḍ (Arab Saudi).Yang terakhir ini banyak didukung oleh ulama Uṣul al-fiqh dan syariat. Namun demikian, ‘Abdullah Ibn ‘Abd al-Muhsin at-Turkī, rektor Universitas Islam Imam bin Sa’ud, Riyadh dan para pakar Uṣul al-fiqh berpendapat bahwa pembaruan ushul ijtihadi, apa pun bentuknya, pada akhirnya akan tetap kembali pada prinsip-prinsip Uṣul al-fiqh yang bersifat luas dan komprehensif, sehingga bisa menampung berbagai peristiwa atau berbagai kasus apa pun[9]. ‘Abdul ‘Aziz as-Sa’īd, Wakil rektor Universitas Islam Imam Ibn Sa’ud, berpendapat bahwa, secara prinsip, pembaruan Uṣul al-fiqh tidak menjadi masalah. Akan tetapi, Sa’īd pun berpendapat bahwa sekalipun, secara prinsip, pembaruan Uṣul al-fiqh tidak dilarang, namun pada faktanya, permasalahan apa pun yang terjadi sudah tercakup di dalam berbagai kaidah ushul fikih yang selama ini telah dikenal. Muḥammadaṭ-Ṭayyiban-Najār, Rektor Universitas al-Azhar, berpendapat bahwa betapa pun seriusnya upaya pembaruan Uṣul al-fiqh yang dilakukan, ia tidak akan mampu keluar dari prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh para ulama pada abad sebelumnya.

Sementara Yūsuf al-Qarḍāwī, Dekan Fakultas Syariah Universitas Qatar, berpendapat tentang kebolehan pembaruan; baik dalam persoalan-persoalan yang khusus maupun umum; dalam penggunaan hadis ahad dan hadis masyhur; maupun dalam bidang-bidanglainnya.Sedangkan Ma’rufad-Duwalibi, penasihat dalam jajaran kabinet kerajaan Arab Saudi dan salah seorang pakar ilmu Uṣul al-fiqh berpendapat bahwa pembaruan Uṣul al-fiqh adalah boleh dan tidak menjadi masalah.Dia mengemukakan contoh pendapat yang aneh dan dianggap baru berkaitan dengan persoalan “an-naskh”. Dia memandang bahwa pendapat tentang gugurnya hukum lama oleh hukum baru dalam konteks dua hukum yang kontradiktif adalah perkara yang tercela.adalah kita menolak hukum baru pada saat ia bertentang dengan sunah nabi, sementara telah ditetapkan bahwa Rasulullah sering bersabda tentang sesuatu ataupun kebalikannya. Di sini, tentu tidak ada naskh.Bahkan setiap sabda Rasul itu senantiasa sesuai dengan situasi dan latar belakangnya. Hal ini sering kita lupakan.Kelalaian kitalah yang sering menyebabkan kita mengungkapkan masalah naskh [10].

Pembaharuan Islam pada akhir abad ke-19 membawa dampak pembaharuan tentang metedologi pemahaman hukum (ijtihad) dan perlunya pembaharuan Uṣul al-fiqh. Muḥammad’Abduh misalkan, mengusulkan sebuah metode jalan elektik (takhayur) dalam memahami hukum Islam, yang mana paling baik dan sesuai dengan kondisi saaat ini. Penmikiran ini setidaknya telah mempengaruhi formulasi kodifikasi atau kompilasi hukum Islam di negara-negara muslim sampai saat ini, khususnya mengenai hukum-hukum tentang kehidupan sosial, walaupun mazhab tertentu yang diikuti oleh mayoritas masih terus mempengaruhi sebuah kodifikasi lebih dari pada yang lainnya. Namun, ’Abduh sendiri tidak mengusulkan metodologi tertentu dalam ijtihad, sehingga banyak ilmuan, seperti Fazlur Rahman mengkritik metode takhayyur’Abduh sebagai sesuatu yang membingungkan dan tidak taat asas. Fazlur Rahman sendiri menawarkan teori Double Movement sebuah tawaran bagaimana dalam menafsirkan Alquran agar relasi wahyu ketuhanan (devine revelation ) yang suci dan sejarah kemanusiaan (human history) sehingga norma-norma dan nilai-nilai wahyu ketuhanan mempunyai relevansi yang dapat bertahan terus-menerus dalam sejarah umat beragam, tanpa harus salah tempat dan salah waktu.[11]

C. Corak dan Aliran Uṣul al-fiqh Kontemporer

Ilmu Uṣul al-fiqh merupakan metodologi terpenting yang ditemukan oleh dunia pemikiran Islam dan tidak dimiliki oleh umat Islam lain. Sebenarnya, ilmu ini tidak hanya menjadi metodologi baku bagi hukum Islam saja, tapi merupakan metodologi baku bagi seluruh pemikiran intelektual Islam. Tapi, sejarah pemikiran Islam telah mempersempit wilayah kerjanya hanya dalam wilayah pemikiran hukum saja. Oleh karena itu, ilmu yang didirikan oleh asy-Syafi’i (w.2041H/819M) ini oleh ulama-ulama selanjutnya misalnya oleh al-Qaḍi al-Baiḍawi (w.685H/1286M) didefinisikan sebagai pengetahuan tentang dalil-dalil umum fikih (beberapa metode atau kaidah), cara memanfaatkannya dan pengetahuan tentang orang yang memanfaatkan dalil-dalil umum itu.[12]

Pemetaan aliran Uṣūl al-fiqh kontemporer dapat ditelusuri dalam pemikiran Muṣṭafā Sa’īd al-Khin dalam bukunya al-Kafi al-Wafi fiUṣul al-fiqh al-Islami membuat sebuah terobosan baru mengenai kecenderungan aliran dalam Ilmu Uṣūl al-fiqh. Bila sebelumnya hanya dikenal tiga aliran saja, yaitu Mutakallimīn dan Fukaha atau Syafi’iyyah dan Ḥanafiyyah, ditambah aliran konvergensi (al-jamu) Al-Khin membaginya menjadi lima bagian: Mutakallimīn, Ḥanafiyyah, al-Jam’u, Takhrīj al-Furu’ ‘ala al- Uṣul dan Syaṭibiyyah.[13]

Khusus mengenai madrasah Syāṭibiyyah adalah aliran Uṣul al-fiqh yang banyak diminati oleh kalangan ilmuan kontemporer. Banyak karya-karya ulama kontemporer yang mengulas dan mengembangkan aliran ini. Di antara ulama yang mengembangkan aliran ini adalah Ibn Asyūr dan Al-Fāsī. Ibn Asyūr (w.1393 H) menulis sebuah kitab berjudul Maqaṣid asy-Syari’ah al-Islāmiyyah. Buku ini memiliki kontribusi besar dalam revetalisasi ilmu ini. Beliau membagi subtansi bukunya ke dalam tiga bagian:

Pertama, menetukan secara valid Maqaṣid asy-Syari’ah dan kebutuhan seorang faqīh dalam mengetahuinya. Kedua, Maqāṣid Tasyri’ umum. Ketiga, Maqāṣid Tasyri’ khusus dengan menjelaskan jenis-jenis muamalah antara manusia. Sementara ’Illal al-Fāsī (w.1394 H), beliau terkenal dan bersinar lewat bukunya Maqāṣid asy-Syarī’ah wa Makārimuhā. Hanya saja, pembahasan tentang ilmu ini hanya sedikit. Kemudian bermunculan para penulis dalam ilmu Maqāṣid di antaranya: (1) Dr.Yūsuf Hāmid al-’Ālim. Beliau memiliki satu buku yang berjudul al-Maqāṣid al-’Āmmah li al-Syarī’ah al-Islāmiyyah. Buku ini merupakan disertasi doktoral dalam syariat Islam, di Fakultas Syariat Islam, Al-Azhar; (2) Dr. Aḥmad Raisūnī dan bukunya Naẓariyyat al-Maqāṣid ’inda al-Imām asy-Syāṭibi. Buku ini merupakan disertasi doktoral di Universitas Ummul Qura, Mekkah; (3) Dr. ’Uṡmān Mursyid dan bukunya al-Maqāṣid wa Ahkām al-Syāri’ wa Aṡaruhā fī al-’Uqūd; (4) Syaikh Ṭāhir al-Jazairi yang memiliki buku Maqāṣid al-Syāri’; (5) Dr. Muḥammadal-Yūbī, yang memiliki buku Maqāṣid asy-Syarī’ahal-Islāmiyyahwa ’Alāqatuhā bil-’Adillah al-Syar’iyyah.[14]

Selain lima orang penulis dalam ilmu ini, dapat pula ditambahkan Dr. Jamāl ad-Dīn ’Aṭiyyah lewat bukunya Nahwa Taf’īl Maqāṣid asy-Syarī’ah. Kemudian madrasah ini dikembangkan oleh Yusūf Qarḍāwī bersama Wahbah az-Zuhailī, Muḥammad Salil Elwa dan ulama-ulama Uṣūl kontemporer. Mereka menghimpun diri dalam sebuah situs atau website maqashidsyariah.com.

Sementara Wael B. Hallaq membagi aliran pemikiran Uṣūl al-fiqh pada masa kontemporer kepada dua kelompok. Pertama, aliran Utitarianisme Religius, dasar pemikiran kelompok ini adalah maslahat sebagai pertimbangan hukum yang termasuk aliran ini adalah Muḥammad ’Abduh dan Rasyid Riḍa. Kedua, aliran Liberalisme Religius, yakni pemikir muslim yang memahami wahyu secara teks dan konteks yang lebih menekankan aspek semangat dan subtansi dibalik teks. Ia memasukan Muḥammad Sa’īd al-Asymāwī, Fazlur Rahman, dan Muḥammad Sahrūr pada aliran ini.[15] Dengan demikian, sangat dapat dimengerti bila dikatakan bahwa kemunduran yang di alami oleh fikih Islam dewasa ini diduga kuat juga disebabkan oleh kurang relevannya perangkat teoristik ilmu Uṣūl al-fiqhuntuk memecahkan problem kontemporer.

Dalam perjalanan sejarah ilmu ini, ar-Risalah karya Asy-Syāfi’īdianggap buku rintisan pertama tentang ilmu ini.Ar-Risalah yang penulisannya bercorak teologis-deduktif itu kemudian diikuti oleh para ahli Uṣūl mazhab Mutakallimūn (Syāfi’iyyah, Mālikiyah, Hanabilahdan Mu’tazilah). Sementara itu ulama Ḥanafiyyah memiliki cara penulisan tersendiri yang bercorak induktif-analitis. Baik ar-Risalah, buku-buku Uṣūl mazhab Mutakallimūn, maupun mazhab Ḥanafiyyah memiliki kesamaan paradigma, yaitu paradigma literalistik dalam arti begitu dominannya pembahasan tentang teks, dalam hal ini teks berbahasa Arab, dari segi grammar maupun sintaksisnya dan mengabaikan pembahasan tentang maksud dasar dari wahyu yang ada di balik teks literal.

Paradigma ini berlangsung selama kurang lebih lima abad (dari abad ke 2H sampai abad ke-7H) dan baru mengalami perbaikan dengan munculnya asy-Syāṭibī (w.790/1388) pada abad ke 8 H yang menambahkan teori Maqāṣid asy-Syarī’ah yang mengacu pada maksud Allah yang paling dasar sebagai pembuat hukum (Syāri’, lawgifer). Dengan demikian, ilmu Uṣūl al-fiqh tidak lagi hanya terpaku pada literalisme teks.Kehadiran asy-Syāṭibīsama sekali tidak menghapus paradigma literal, tapi ingin lebih melengkapinya agar ilmu ini dapat lebih sempurna memahami perintah Allah. Dengan demikian, dalam perspektif filsafat ilmu, asy-Syāṭibīsebenarnya tidak melakukan apa yang menurut Thomas Kuhn disebut dengan pergeseran paradigma (paradigm shift), tapi lebih hanya melengkapi paradigma lama saja, agar tidak terlalu literalistik. Asy-Syāṭibī dalam perspektif Kuhn, sesungguhnya tidak melakukan perubahan revolusioner pada bangunan ilmu Uṣūl al-fiqh. Enam abad kemudian, sumbangan Asy-Syāṭibī pada abad ke 8 H/14M itu, direvitalisasikan oleh para pembaharu Uṣūl al-fiqh di dunia modern, seperti Muḥammad ‘Abduh (w.1905), Rasyid Riḍa (w.1973), dan Ḥasan Turabi. Karena tidak menawarkan teori baru kecuali merevitalisasi prinsip al-maṣlaḥat yang ditawarkan Asy-Syāṭibīmelalui teori Maqāṣid-nya itu, maka B. Hallaq mengkategorikan para pembaharu di bidang Uṣūl dalam kelompok ini sebagai para pembaharu penganut aliran utilitarianisme.

Sementara itu, pertanyaan tentang bagaimanakah teks suci dapat dipahami dan kemudian dijalankan dalam konteks dunia modern yang sudah barang tentu tidak lagi sama dengan konteks zaman nabi tetap saja masih menjadi agenda besar bagi umat Islam dewasa ini. Pertanyaan semacam ini menurut sebagian pakar seperti Muḥammad Iqbal, Maḥmūd Muḥammad Ṭaḥa, ‘Abdullah Aḥmad an-Naim, Muḥammad Sa’īdal-Asymāwī, Fazlur Rahman, dan Muḥammad Syahrūr sama sekali tidak dapat diselesaikan dengan berpijak pada prinsip maṣlaḥat klasik di atas. Bahkan mereka beranggapan bahwa prinsip maṣlaḥat tidak lagi memadai untuk membuat hukum islam mampu hidup di dunia modern. Dengan mengambil sample tiga orang pemikir (Al-Asymāwī, Fazlur Rahman, dan Syahrūr), Hallaq menamakan kelompok ini dengan aliran liberalisme keagamaan (religious liberalism), karena coraknya yang liberal dan cenderung membuang teori-teori Uṣūl al-fiqh lama. Menurut Hallaq upaya pembaharuan di bidang Uṣūl al-fiqh dari kelompok kedua ini dianggapnya lebih menjanjikan dan lebih persuasif.Kelompok kedua ini dalam rangka membangun metodologinya yang ingin menghubungkan antara teks suci dan realitas dunia modern lebih berpijak pada upaya melewati makna eksplisit teks untuk menangkap jiwa dan maksud luas dari teks.[16]

D. Pemikiran Islam tentang Ushul Fiqh Kontemporer

Prof. Dr. Haru Nasution membagi ciri pemikiran islam ke dalam tiga zaman, yakni zaman klasik ( abad ke-7 – ke-12 ) zaman ini disebut juga oleh beliau sebagai zaman rasional, zaman pertengahan ( tradisional ) abad ke-13 – ke-19 dan zaman modern (kontemporer) abad ke-19? . Berdasarkan kriteria di atas, fiqih klasik yang di maksud adalah pola pemahaman fiqih abad ke7-12, sedangka fiqih kontemporer, adalah pola pemahaman fiqih abad ke-19 dan seterusnya. Yang menjadi fokus kajian disini adalah; adakah relevansinya antara pola pemahaman fiqih kontemporer dengan fiqih klasik, lalu di mana letak relevansi pemahaman antara kedua zaman tersebut?

Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, metode berpikir ulama klasik terkait langsung dengan al-qur’an dan hadist, sehingga banyak melahirkan ijtihad yang kualitatif, hal ini banyak di contohkan oleh para sahabat nabi terutama Umar bin Khattab. Metode berpikir itu pulalah yang di tiru oleh imam-imam mazhab fiqih seperti imam Malik, Abu hanafiah, Syafi’i, dan ibnu hambal. Juga oleh para mutakallimin seperti: Washil bin ‘Atha’, Abu al-huzail, Al-jubba’i, Al-asy’ari, Al-maturidi, dan Al-ghozali.[17].

Sedangkan pemikiran zaman pertengahan, berbeda dengan pemikiran zaman klasik, menjadi terikat sekali dengan hasil pemikiran para ulama zaman klasik. Ruang geraknya maslah-masalah baru mereka tidak lagi secara langsung menggali ke al-qur’an dan hadist tetapi lebih banyak terikat denga produk pemikiran ulama abad klasik. Sehingga orisinalitas pemikiran semakin berkurang dan cenderung dogmatis. Maka bekulah pemikiran serta kurang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Corak pemikiran ini menampilkan sosok ulama Islam abad pertengahan dengan pola penalaran fiqih yang tradisional. Di zaman modern inipun masih banyak umat Islam yang terpaku dengan pola pemikiran islam abad pertengahan tersebut hanya sebagian kecil yang sudah mulai memakai pola pemikiran rasional zaman klasik.

Sebenarnya bila umat islam ingin maju dan punya kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan zaman modern, pola permikiran rasional para sahabat dan ulama klasik sudah selayaknya untuk dikembangkan lagi disinilah letak relevansinya antar fiqih kontemporer dengan fiqih klasik nantinya, yakni relevan dalam pola penalaran fiqhiyahnya, walaupun akan menghasilkan produk fiqih yang berbeda karena perbedaan situasi dan kondisi yang ada.[18]

E. Ruang Lingkup Kajian fiqh Kontemporer

Yang dimaksud dengan ruang lingkup kajian ushul fiqih kontemporer disini mencakup: pertama, masalah-masalah fiqih yang berhubungan dengan situasi kontempoerer (modern). Kedua, wilayah kajian dalam alqur-an dan hadist.

Kajian fiqih kontemporer tersebut dapat di kategorikan ke dalam beberapa aspek:

1. Aspek hukum keluarga, seperti: pembagian harta waris, akad via telepon, perwakafan, nikah hamil, KB, dll.

2. Aspek ekonomi, seperti: Sistem bungan dalam bank, zakat mal dalam perpajakan, kredit dan arisan, zakat profesi, asuransi, dll.

3. Aspek pidana, seperti: Hukum potong tangan, hukum pidana islam dalam sistem nasional,dll.

4. Aspek kewanitaan, seperti: busana muslimah (jilbab), wanita karir, kepemimpinan wanita, dll.

5. Aspek medis, seperti: pencakokan bagian organ tubuh, pembedaha mayat, kontasepsi mantap, rekayasa genetika, pemilihan jenis kelamin, ramalan genetika, konseling genetika, perubahan genetika, revolusi biologik, cloning, percobaan dengan tubuh manusia, penyeberang jenis kelamin dari pria ke waniat atau sebaliknya, kornea mata, bayi tabung, bank susu, bank darah, bank sperma, vasektomi dan tubektomi dalam aneka variasinya, transfusi darah, insemniasi sperma manusia dengan hewan, dll.

6. Aspek teknologi, seperti: penyembelihan hewan secara mekanis, seruan azan atau basmalah dengan kaset, makmum kepada radio atau televisi, memberi salam dengan bel, penggunaan hisab dengan meninggalkan rakyat, dll.

7. Aspek politik (kenegaraan) yakni tentang perdebatan sekitar istilah ‘negara islam’ proses pemilhan pemimpin, loyalitas kepada penguasa, dsb.

8. Aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah, seperti,; tabungan haji, tayamum dengan selain tanah (debu), ibadah qurban dengan uang, menahan haid karena demi ibadah haji, dan lain-lain.

itulah hal-hal yang sering jadi bahan kajian di tengah-tengah masyarakat muslim di tengah-tengah masyarakat muslim dewasa ini, tentu banyak hal lainnya yang penulis ketahui atau belum menjadi isu fiqh kontemporer.[19]

Mengenai wilayah kajian yang berkenaan dengan al-qur’an dan hadits yang erat hubungannya dengan fiqih kontemporer, antara lain adalah maslahah. metodelogi pemahaman hukum islam, yang perlu dilakukan pengakajian mendalam lagi, persoalan histories dan sosiologis ayat-ayat al-qur’an maupu hadist nabi, kajian tentang maqoosiduttasrii’ ( tujuan hukum) dan hubungannya dengan formalitas hukum,keterbukaan kembali pintu ijtihad, soal kemaslahatan umum, adat istiadat masyarakat yang berlaku, tentang teori nasakh dan teori I’llat hukum, tentang ijma’, dll.

Menurut penulis ruang lingkup kajian fiqih kontemporer tidak terlepas dari aspek material dan formalnya hukum islam, serta mana yang permanen dalam hukum islam dan mana yang bersifat relatif (berubah) atau ghoiruttasyri’. Kajian tentang aspek moralitas dan formalitas hukum inilah yang menjadi ajang kajian fiqih kontemporer ini.[20]

Dapatlah kita kemukakan bahwa persoalan fiqih kontemporer di masa akan datang lebih komplit lagi dibanding yang kita hadapi hari ini. Hal tersebut disebabkan arus perkembangan zaman yang berdampak kepada semakin terungkapnya berbagai persoalan umat manusia, baik hubungan antara sesama maupun dengan kehidupan alam sekitarnya.Kompleksitas masalah tersebut tentunya akan membutuhkan pemecahan masalah berdasarkan nilai-nilai agama. Disinilah letak betapa pentingnya rumusan ideal moral maupun formal dari fiqih kontemporer tersebut.

---------------------

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ushul fiqh menurut etimologi atau linguistik (kebahasaan) merupakan susunan kata gabungan (murokkab idhafi) berupa kata “ushul” dan “fiqh”. Kata “Ushul” adalah bentuk jamak dari “Ashl” yang berarti “pokok” atau dasar suatu bangunan, baik bangunan materi atau non materi seperti pemikiran.

1. Uṣul al-fiqh permanen yang tidak memiliki ruang bagi perubahan. Ia adalah Alquran dan Sunah yang senantiasa memelihara kehidupan umat Islam.

2. Uṣul al-fiqh pelengkap yang mengikuti Alquran dan Sunah. Yang terakhir ini memberikan peluang untuk berijtihad.

Corak pemikiran menampilkan sosok ulama Islam abad pertengahan dengan pola penalaran fiqih yang tradisional. Di zaman modern inipun masih banyak umat Islam yang terpaku dengan pola pemikiran islam abad pertengahan tersebut hanya sebagian kecil yang sudah mulai memakai pola pemikiran rasional zaman klasik.

Yang dimaksud dengan ruang lingkup kajian ushul fiqih kontemporer disini mencakup: pertama, masalah-masalah fiqih yang berhubungan dengan situasi kontempoerer (modern). Kedua, wilayah kajian dalam alqur-an dan hadist.

Corak yang paling kental adalah aliran asy-Syāṭibīyyah dimana orientasi maslahat menjaditema utama.Aliran ini dimaksudkan untuk mensistematisasikan ilmu Fikih dan mengimbangi kecenderungan atomistik dalam pemikiran hukum klasik.Oleh karena itu tugas para ilmuwan muslim kontemporer adalah menguji metode-metode yang berkembang dalam tradisi Barat maupun muslim untuk menentukan sumber-sumber keterbatasan dan kelebihannya, dan selanjutnya dicari kemungkinan pengembangan dan perkawinan antara kedua metode tersebut agar dihasilkan anak metode baru yang komprehensif dan memadahi untuk menjawab problem kontemporer.

----------------------

DAFTAR PUSTAKA

Satria Effendi & M.Zaeni, 2005,Ushul fiqih .Jakarta: prenada media.

Syahrul Anwar, 2010. Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, Bogor : Ghalia Indonesia.

Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, 2005.Kamus ilmu ushul fiqih. Jakarta:Amzah,

Muhammad Azhar, 1996. Fiqh Kontemporer dalam pandangan aliran neomodernisme, Yogyakarta: Lesiska.

Abdul HalimUways, 1998. Fikih StatisDinamis, Bandung: Pustaka Hidayah.

Wahyudi, 2010, Ilmu Ushul Fiqh Prespektif Ali Jum’ah Muhammad”,dalam Rekontruksi Ilmu-ilmu Keislaman,Kairo: PCIM. 2010.

Maskuri Abdillah, 2003 ”Pertumbuhan Ilmu fiqh, ushul Fiqh dan Qawaid fiqhiyyah”, dalam Masail al-Fiqhiyah, UIN: Jakarta Press, 2003.

Amin Abdullah, 2002 “Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh dan Dampaknya Pada Fiqh Kontemporer,Yogyakarta: Ar-Ruzz Press.

http://stai-persis-bandung.ac.id/artikel-294-Islamisasi-Ilmu Pengetahuan.html?pilih=news&modul=yes&aksi=lihat&id=295/ di akses pada tanggal 13 Juni 2017 pada pukul 16.45 WIB

Syahid Marqun, 2007 “Maqashid Syariah: Telaah Sejarah dan Perkembagan” Jurnal al-Ibrah.

Dr. Jaih Mubarok, 2003. Fiqih kontemporer, Lingkar Selatan: Pustaka Setia.

Azharuddin Latif,M.AG, 2015. Ushul Fiqih, Jakarta: Prenadamedia.

Syahrul, 2010,. ilmu fiqh dan usul fiqh, Bogor : Ghalia Indonesia.

----------------
Footnote
----------------

[1] Satria Effendi & M.Zaeni,Ushul fiqih (Jakarta:prenada media,2005). hal.2

[2] Anwar, Syahrul, Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), hal. 13

[3] Ibid,hal.3

[4] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin,Kamus ilmu ushul fiqih,(Jakarta:Amzah,2005) hal.67

[5] Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer dalam pandangan aliran neomodernisme, (Yogyakarta: Lesiska, 1996), hal.4

[6] Ibid, hal. 8

[7] Ibid, 10

[8] Abdul Halim Uways, Fikih StatisDinamis, (Bandung: PustakaHidayah: 1998), 160.

[9] Wahyudi, “Ilmu Ushul Fiqh Prespektif Ali Jum’ah Muhammad”,dalam Rekontruksi Ilmu-ilmu Keislaman (Kairo: PCIM, 2010), 126.

[10] Abdul HalimUways, Fikih StatisDinamis, (Bandung: PustakaHidayah: 1998), 168-169

[11] Maskuri Abdillah,”Pertumbuhan Ilmu fiqh, ushul Fiqh dan Qawaid fiqhiyyah”, dalam Masail al-Fiqhiyah (UIN Jakarta Press, 2003), 44-45

[12] Amin Abdullah, “Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh dan Dampaknya Pada Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002), Cet. ke-1., 117-118.

[13].http://stai-persis-bandung.ac.id/artikel-294-Islamisasi-Ilmu Pengetahuan.html?pilih=news&modul=yes&aksi=lihat&id=295/ di akses pada tanggal 13 Juni 2017 pada pukul 16.45 WIB

[14] Syahid Marqun, “Maqashid Syariah: Telaah Sejarah dan Perkembagan” (Jurnal al-Ibrah Vol. 4 No.1.2007), 43-44.

[15].http://stai-persis-bandung.ac.id/artikel-294-Islamisasi-Ilmu Pengetahuan.html?pilih=news&modul=yes&aksi=lihat&id=295/ di akses pada tanggal 13 Juni 2017 pada pukul 16.45 WIB

[16] http://stai-persis-bandung.ac.id/artikel-294-Islamisasi-Ilmu Pengetahuan.html?pilih=news&modul=yes&aksi=lihat&id=295/ di akses pada tanggal 13 Juni 2017 pada pukul 16.45 WIB

[17] Dr. Jaih Mubarok, Fiqih kontemporer, (Lingkar Selatan: Pustaka Setia, 2003), hlm.168-169.

[18] Azharuddin Latif,M.AG, Ushul Fiqih, (Jakarta: Prenadamedia,2015),hlm.81-83.

[19] Syahrul, ilmu fiqh dan usul fiqh,( Bogor : Ghalia Indonesia, 2010),hlm.191-193.

[20] Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nawawi & Fiqh Kontemporer ,(Jakarta : Rajawali Press , 2008),hlm.50-52

No comments:

Post a Comment