MAKALAH STUDI AL-QURAN
QIRAAT QURAN
Dosen Pengampu : Misbahul Munir, M.Hum.
![]()
Disusun Oleh :
Heldia Oldia Lestari : 1611113
Galih : 1611112
Siti Hajar : 1611128
QIRAAT QURAN
Dosen Pengampu : Misbahul Munir, M.Hum.
Disusun Oleh :
Heldia Oldia Lestari : 1611113
Galih : 1611112
Siti Hajar : 1611128
Jurusan / Prodi : Tarbiyah / PAI / I D
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )
SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK
BANGKA BELITUNG
SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK
BANGKA BELITUNG
2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis hanturkan kehadiran Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya yang begitu besar ,sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah STUDI QURAN yang berjudul “QIRAAT” ini dapat diselesaikan tepat waktu yang telah ditentukan.
Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada jujungan kita Rasullulah SAW yang mana telah membawa kita semua dari zaman jahiliyah menuju zaman yang terang benderang seperti saat ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya dan dapat sedikit mewujudkan pengetahuan didalam lembaran ini.
Penulis menyimpulkan bahwa tugas kelompok ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis menerima saran dan kritik, guna kesempurnaan tugas kelompok ini dan bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Demikian semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Puji dan syukur penulis hanturkan kehadiran Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya yang begitu besar ,sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah STUDI QURAN yang berjudul “QIRAAT” ini dapat diselesaikan tepat waktu yang telah ditentukan.
Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada jujungan kita Rasullulah SAW yang mana telah membawa kita semua dari zaman jahiliyah menuju zaman yang terang benderang seperti saat ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya dan dapat sedikit mewujudkan pengetahuan didalam lembaran ini.
Penulis menyimpulkan bahwa tugas kelompok ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis menerima saran dan kritik, guna kesempurnaan tugas kelompok ini dan bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Demikian semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Petaling, 12 November 2016
Tim Penulis
Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat jibril sebagai mukjizat. Al-Quran adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal,baik aqidah,ibadah,etika,muamalah dan sebagainya.selain sebagai sumber ilmu, Al-Quran juga mempunyai ilmu dalam membacanya.
Begitu besar keagungan Al-Quran sampai-sampai dalam membacanya pun harus disertai ilmu membaca yang disebut ilmu qiraat, karena di kawatirkan apabila dalam membaca Al Quran tidak disertai ilmunya akan berakibat berubahnya arti,maksud serta tujuan dalam setiap firman yang tertulis dalam Al Quran.
Selain ilmu qiraat, Al Quran juga suatu rangkain kalimat yang serasi satu dengan yang lainnya. Keserasian kalimat antar kalimat, ayat antara surat membuat Al Quran di juluki suatu rangkain syair yang begitu indah mustahil untuk di serupai.dalam rangkain Ulumul Quran, keserasian dalam Al Quran disebut Munasabah Al-Quran.
1.2 Rumusan Masalah
A. Apa Pengertian Qiraat Quran ?
B. Bagaimana Perkembangan Qiraat Quran?
C. Macam macam Qiraat Quran ?
D. Syarat syarat yang Muktabar ?
E. Apa saja metode metode Qiraat Quran ?
F. Siapa saja Tokoh-tokoh Ilmu Qiraat dan Karya Ilmiahnya ?
G. Bagaimana perbedaan dalam Qiraat?
H. Apa saja syarat Qiraat yang diterima ?
I. Apa Perbedaaan Qiraat dan ahruf ?
J. Bagaimana tingkatan- tingkatan Qiraat?
K. Bagaimana Pengaruh Qiraat terhadap istinbat hukum?
L. Bagaimana Manfaat mempelajari ilmu Qiraat ?
1.3 Tujuan Penulisan
A. Mengetahui pengertian Qiraat Quran
B. Menjelaskan Perkembangan Qiraat Quran
C. Mengetahui macam macam Qiraat Quran
D. Syarat syarat yang Muktabar
E. Mengetahui apa saja metode metode Qiraat Quran
F. Mengetahui siapa saja tokoh-tokoh Ilmu Qiraat dan Karya Ilmiahnya
G. Menjelaskan perbedaan dalam Qiraat
H. Mengetahui syarat Qiraat yang diterima
I. Menjelaskan Perbedaaan Qiraat dan ahruf
J. Mengetahui tingkatan- tingkatan Qiraat
K. Mengetahui Pengaruh Qiraat terhadap istinbat hukum
L. Menjelaskan manfaat mempelajari ilmu Qiraat
1.4 Manfaat Mempelajari Qiraat Quran
Supaya penulis semua dan para pembaca memahami ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Quran dan dapat menerapkannya dalam kajian al-Quran serta mampu mengenal dan menjelaskan Qiraat dalam al-Quran.
------------------------------
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Qiraat
Qiraat adalah jamak dari qira’ah, yang berarti ‘bacaan’, dan ia adalah masdar (verba noun) dari qara’a.[1] Menurut istilah, qiraat adalah suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dalam membaca al-Quran yang berbeda satu dengan lainnya. Dalam pengucapan al-Quran serta disepakati riwayat dan jalurnya, baik perbedaan dalam pengucapan huruf atau lafadznya. Di antara para sahabat yang terkenal mengajarkan qiraat ialah Ubai, Ali, Zaid bin Sabit, Ibn Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari dan lain lain. Dari mereka itulah mereka para sahabat dan tabi’in di berbagai negeri belajar qiraat.
Al-Jazari mengartikan qiraat sebagai pengetahuan tentang cara melafadzkan kalmat al-Quran dengan menyadarkan kepada penukilnya. Menurut M.Natsir Arsyad, perintis ilmu qiraat diantaranya adalah Abu Ubaidah Al-Qossim Ibnu Salam, Abu Hattim as-Saajistani, Abu Ja’far ath-Thabari, dan Ismail al- Qadhi.
Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus diketahui. Kata kunci tersebut adalah qira’at, riwayat dan tariqah. Berikut ini akan dipaparkan pengertian dan perbedaan antara qira’at dengan riwayat dan tariqah, sebagai berikut :
Qira’at adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang imam dari qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas; seperti qira’at Nafi’, qira’at Ibn Kasir, qira’at Ya’qub dan lain sebagainya.
Sedangkan Riwayat adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang perawi dari para qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Nafi’ mempunyai dua orang perawi, yaitu Qalun dan Warsy, maka disebut dengan riwayat Qalun ‘anNafi’ atau riwayat Warsy ‘an Nafi’.
Adapun yang dimaksud dengan tariqah adalah bacaan yang disandarkan kepada orang yang mengambil qiraat dari periwayat qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Warsy mempunyai dua murid yaitu al-Azraq dan al-Asbahani, maka disebut tariq al-Azraq ‘an Warsy, atau riwayat Warsy min thariq al-Azraq. Bisa juga disebut dengan qira’at Nafi’ min riwayati Warsy min tariq al-Azraq.
2.2 Perkembangan Ilmu Qiraat
Pada dasarnya, ilmu qiraat sudah ada sejak zaman Rasulullah saw. Hanya saja, pada masa itu qiraat terbatas pada sahabat yang secara khusus menekuni bacaan al-Quran, mengajarkan, dan mempelajarinya. Para sahabat ini selalu ingin mengetahui ayat yang diturunkan kepada Rasulullah saw. Untuk itu, mereka kemudian menghafalkan bahkan membacakannya dihadapan nabi untuk disimak.
Ilmu qiraat baru dibukukan pada abad ke 3 H , para ahli sejarah mengatakan bahwa orang yang berjasa menuliskan ilmu qiraat adalah Imam Abu Ubaid al-Khosim bin Salam (224 H), ia menulis yang menghimpun qiraat dari dua puluh lima orang perawi, dan menamainya dengan kitab qiraat. Menurut Ibnu Jazari, antusiasme para ulama terhadap ilmu qiraat dilatarbelakangi oleh maraknya kebohongan yang dilakukan para musuh islam terhadap alquran. Pada saat yang bersamaan, ilmu mengenai al-Quran dan hadits sudah memiliki banyak cabang, alasan lainnya adalah berkaitan dengan kaum muslimin yang sangat memerlukan ilmu qiraat sebagai upaya menjaga dan memelihara al-Quran dari perubahan dan pemutarbalikan yang akan dilakukan musuh musuh islam.
2.3 Macam Macam Qiraat
Dalam menentukan keshahihan sanad qiraat, Ibnu Jazali membuat beberapa kelompok kategori, yaitu sebagai berikut:
1. Qira’ah Muthawatir, yakni qira’ah yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang banyak dan juga periwayat yang banyak pula, sehingga tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta. Qira’ah Sab’ah menurut jumhur ulama termasuk qira’ah yang mutawatir.
2. Qira’ah Mashur, yaitu qira’ah yang sanadnya bersambung kepada Rasulullah Saw, tetapi hanya diriwayatkan oleh seorang atau beberapa orang yang adil dan tsiqah, sesuai dengan bahasa Arab, sesuai dengan salah satu mushaf Ustmani baik berasal dari imam tujuh, imam sepuluh, maupun imam lain yang diakui.
3. Qira’ah Ahad, yaitu qira’ah yang sanadnya Shahih tetapi menyalahi Mushaf Ustmani atau kaidah bahasa Arab atau tidak populer seperti qira’at mutawatir dan masyhur. Qira’ah ini tidak boleh dibaca dan tidak wajib diyakini seperti riwayatnya Al-Hakim dari Ashim Al-Jahdari dari abi Bakrah yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw, pernah membaca Laqod jaakum min anfusikum dengan fa’ dibaca fathah (min anfasakum).[2]
4. Qira’ah syadz, yakni qira’at yang sanadnya cacat dan tidak bersambung kepada Rasulullah Saw.
5. Qira’at Maudhu’, yakni qira’ah yang dinisbatkan kepada seseorang tanpa dasar.
6. Qira’ah Mudraj, ysitu qira’ah yang didalamnya terdapat lafazh atau kalimat tambahaan yang biasanya dijadikan penafsiran bagi ayat al-Quran, seperti qira’ah Ibnu Abbas : laisa alaikum junahun an tabtaghu fadhlan mirrobbikum yang kemudian ditambah dengan kalimat fimawasimil hajj. [3]
Menurut para ulama, kaidah qiraat yang sahih adalah sebagai berikut :
1. Kesesuaian qiraat tersebut sesuai dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dalam satu segi, baik segi itu fasih maupun lebih fasih, sebab qiraat adalah sunah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan ra’yu (Penalaran).
2. Qiraat sesuai dengan salah satu mushaf Usmani, meskipun hanya sekedar mendekati saja. Dalam penulisan mushaf mushaf para sahabat telah bersungguh sungguh dalam cara penulisan mushaf sesuai dengan berbagai macam dialek qiraat yang diketahui.
3. Qiraat itu harus sahih isnadnya, sebab qiraat merupakan sunahyang diikuti yang didasarkan pada keselamatan penukilan dan kesahihan riwayat
Zaid bin Sabit berkata, “ Qiraat adalah sunnah muttaba’ah, sunah yang harus diikuti.
2.4 Syarat – Syarat Qiraat Yang Muktabar
Dalam Qiraat, dikenal sistem seleksi, persis seperti seleksi kesahihan suatu hadits, hanya saja seleksi Qiraat ini lebih ketat, karena disyaratkan adanya kekuatan hukum yang mutawatir, sehingga Qiraat itu bisa diterima sebagai bacaan Al-Qur’an yang sah. Berbeda dengan hadits, yang cukup dinilai kesahihan jalur transmisi (sanad) dan matannya, tanpa harus ada syarat tawatur ini.
Adanya syaratn “harus mutawatir” ini dikarenakan Al-Quran adalah kitab yang kesahihannya tidak diragukan lagi (la raiba fihi). Maka jenis periwayatannya yang tidak diragukan validitasnya sama sekali hanyalah periwayatan mutawatir ini. Oleh karenanya, syarat tawatur ini masuk dalam definisi Al-Quran, bahwa Al-Quran adalah “firman Tuhan yang diriwayatkan hambanya secara mutawatir…. “ Namun demikian, ada sebagian kalangan yang juga menerima bacaan masyhur (sahih namun tidak sampai pada derajat mutawatir).[4]
Untuk menentukan diterimanya sebuah Qiraat, para ulama menetapkan kriteria-kriteria sebagai berikut:
1. Mutawatir, yaitu Qiraat yang diturunkan dari beberapa orang dan tidak mungkin terjadi kebohongan.
2. Sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
3. Sesuai dengan tulisan Mushhaf Utsman.
4. Mempunyai sanad yang shahih.
Seperti halnya didalam menetapkan hukum syara’ ulama ber-istinbath kepada riwayat-riwayat yang bersanad shahih, demikian pula didalam penerimaan sebuah Qiraat. Qiraat hanya diterima apabila terbukti terdapat narasumber (diambil dari sumber utama) dari generasi sebelumnya melalui belajar membaca Qiraat tersebut-cara ini dikenal dengan istilah musyafahah, mendengar, sehingga sanadnya benar-benar menyambung dengan sahabat Rasulullah SAW yang mengambil (belajar) Qiraat pada Rasulullah SAW. Dengan sanad yang menyambung dengan Rasulullah SAW ini membuat para ulama menganggap Qiraat-qiraat yang dapat diterima itu tauqify.
Adapun Qiraat-qiraat yang sekalipun sesuai dengan kaidah bahasa Arab, tetapi tidak diriwayatkan melalui sanad yang shahih, dianggap tidak abash, karena itu ditolak. Sebaliknya, tak sedikit Qiraat yang oleh ahli Ilmu Nahwu (gramatika bahasa Arab) tidak dibenarkan, tetapi tetap dianggap shahih karena mempunyai sanad yang shahih.
Sebagai contoh, para ahli Qiraat pernah bersikap keras terhadap Abu Bakar bin Miqsam. Tokoh ini memilih Qiraat yang dianggap shahih karena sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Tetapi oleh karena Qiraat pilihan Abu Bakar itu berbeda dengan naqliy yang diturunkan dengan sanad yang shahih, maka Abu Bakar bin Miqsam dikecam pedas. Sikap keras terhadap Abu Bakar ini diambil oleh para ahli Qiraat setelah mereka bersidang. Keputusannya, siding sepakat tidak membenarkan Qiraat Abu Bakar bin Miqsam yang hanya sesuai dengan kaidah bahasa Arab tetapi menyalahi naqliy itu.[5]
2.5 Metode Penyampaian Qiraat
Menurut Dr. Muhammad bin Alawi Al-Maliki dalam bukunya berjudul Zubdah al-itqan fi ulumil Qur’an mengatakan, bahwa di kalangan ahli hadits ada beberapa periwayatan atau penyampaian qira’ah diantaranya:
a. Mendengar langsung dari guru (al-Sima’).
b. Membacakan teks atau hafalan didepan guru (al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh).
c. Melalui ijazah dari guru kepada murid.
d. Guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang dikoreksinya untuk diriwayatkan (al-Munalah).
e. Guru menuliskan sesuatu untuk diberikan kepada muridnya (Mukatabah).
f. Wasiat dari guru kepada para murid-muridnya.
g. Pemberitahuan tentang qira’ah tertentu (al-I’lam).
h. Hasil temuan (al-Wijadah).
2.6 Tokoh-Tokoh Ilmu Qiraat dan Karya Ilmiahnya
Perkembangan ilmu qiraat demikian pesatnya, sehingga memunculkan banyak tokoh-tokoh ahli qira’at yang mengabadikan ilmunya dalam bentuk karya tulis. Berikut ini dipaparkan beberapa tokoh ahli qira’at dengan karya-karyanya, sebagai berikut :
1. Makki bin Abu Thalib al-Qaisi, wafat pada tahun 437 H
Beliau menyusun kitab : al-Ibanah ‘an Ma’ani al-Qiraat dan al-Kasyfu ‘an Wujuuhi al-Qiraati al-Sab’i wa ‘Ilaaliha.
2. Abdurrahman bin Ismail, yang lebih dikenal dengan nama Abu Syaamah, wafat pada tahun 665 H. Beliau mengarang kitab :Ibraazu Ma’ani min Harzi al-Amani dan Syarah Kitab al-Syatibiyah.
3. Ahmad bin Muhammad al-Dimyati. Wafat pada tahun 117 H. Beliau menyusun kitab : Itafu Fudalai al-Basyari fi al- qiraat al-Arba’i ‘Asya.r
4. Imam Muhammad al-Jazari, wafat pada tahun 832 H.
Beliau menyusun kitab :Tahbir al-Taisir fi al-Qiraat al-‘Asyar min T}ariiqi al-Syatibiyah wa al-Durrah.
5. Imam Ibn al-Jazari yang menyusun kitab : Taqrib al-Nasyar fi al-Qira’at al-‘Asyar dan Al-Nasyar fi al-Qira’at al-‘Asyar.
6. Husain bin Ahmad bin Khalawaih, wafat pada tahun 370 H.
Beliau menyusun kitab : al-Hujjatufi Qira’at al-Sab’i dan Mukhtashar Syawaadzi al-Qur’an.
7. Imam Ahmad bin Musa bin Mujahid, wafat pada tahun 324 H.
Beliau menyusun kitab : Kitab al-Sab’ah.
8. Imam Syatibi, wafat pada tahun 548 H. Beliau menyusun kitab : Harzu al-Amani wa Wajhu al-Nahani –Nazam fi Qiraat al-Sab’i.
9. Syaikh Ali al-Nawawi al-Shafaqisi yang menyusun kitab : Ghaitsu al-Nafi’ fi al-Qira’atial-Sab’i.
10. Imam Abu Amr al-Dani, wafat pada tahun 444 H.
Beliau menyusun kitab : al-Taysir fi al-Qira’at al-Sab’i.
2.7 Perbedaan Dalam Qiraat
Ada beberapa macam mazhab dalam ilmu qiraat. Sedangkan mazhab qiraat yang sangat populer adalah qiraat sab’ah, qiraah asyarah juga qiraat arobba’a asyarah. Terjadinya perbedaan mazhab qiraat ini disebabkan oleh perbedaan intelektual serta kesempatan masing masing sahabat dalam mengetahui dan membaca al-Quran. [6]Faktor lain yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam membaca al-Quran adalah hal tulisan. Tulisan al-Quran dalam mushab Utsmani, misalnya, sebelumnya belum diberi baris dan tanda baca menyebabkan teerjadinya perbedaan qiraah. Terjadinya perbedaan bacaan ini semakin meluas, terutama saat wi;layah islam kian merambak. Keadaan tersebut menyebabkan banyaknya para sahabat yang mengajar al-Quran menyebarkan ke berbagai daerah. Seperti yang sudah disebutkan, qiraah yang paling mashur adalah qiraah saba’a. Disebut qiraah sabaa’a karena merunjuk kepada tujuh imam yang sangat mashur, ketuju imam tersebut adalah sebagai berkut :
1. Abu Ma’bad Muhammad Abdullah bin Kadsir bin Ummar bin Zaddin al-Dari al-Makki (45-120H) Dikenal dengan nama Ibnu Kadtsir dari Makkah.
2. Abu Nu’aim Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim al-Laitsi (70-169 H) dikenal dengan imam Nafi’ dari Isfahan.
3. Imam Ashim bin Abinujub bin Bahdalah al-Asadi-Kufi (127H).
4. Abu Imrah Hamzah bin Habib Az-Zahyyat al-Fardih at- Tami dari Kuffah (156-216 H).
5. Abu Hasan bin Hamzah bin Abdullah bin Fairus al-Farizi al-Kuzaian- Nahwi dari Kuffah (119-189 H).
6. Abu Anr Zabban bin al-A’la bin Ammar dari Basrah (70-154 H).
7. Imam Abu Muaimin Abu Imran Abdullah bin Amir Asy-Syafi’i Alyas Hubi dari Damaskus (21-118 H).
Sedangkan qiraat asyarah merupakan qiraat yang merujuk pada sepuluh imam. Pada dasarnya, qiraat saba’a yang ditambah tiga imam qiraat, antara lain Abu Muhammad Yakub bin Ishaq al-Basri al-Madrani dari bashrah (205 H), Abu Muhammad Kahlaf bin Hisyam bin Thalib al-Makki al-Bazzar (229 H), dari Abu Jaffar Yaziz bin Al-Qa’qa’ al-Makhzumi al—Madani (230 H).
Qiraat mazhur lainnya adalah qiraat arba’a asyarah, yakni qiraat yang merujuk pada empat belas imam atau qiraat sepuluh yang ditambah empat imam. Mereka adalah Imam Hasan al-Bashri, imam Ibnu Mahisy, Imam Yahya al-Yazidi dan Imam asy-Syambutzi.
2.8 Qiraat Yang Diterima
Para ulama membuat beberapa persyaratan untuk menentukan qiraat yang benar dan diterima serta yang salah dan harus ditolak. Beberapa persyaratan itu adalah sebagai berikut :
1. Qiraat harus sesuai dengan kaidah bahasa arab.
2. Qiraat itu harus sesuai dengan salah satu muzhab Ustmani, dan
3. Qiraat itu harus shahih sanadnya.
2.9 Perbedaan Qiraat Dan Ahruf
1. Qiraat dapat lebih dari tujuh, dapat sepuluh atau lebih, dengan catatan
a. Tidak bertentangan dengan kaidah bahasa.
b. Bacaan tidak berbeda dengan rasm Ustamani.
c. Sanadnya berhubungan kepada nabi Muhammad, baik mutawatir ataupun ahad.
2. Ahruf hanyalah tujuh, ini berdasarkan hadits Nabi namun, tujuh huruf itu tidak berarti bahwa hurufnya harus tujuh. Hanya saja, tidak boleh lebih, tetapi boleh kurang, bahkan dibolehkan hanya satu huruf saja.
Ustman memerintahkan agar alQuran ditulis dengan al-ahruf Quraisy. Sejak pemerintahan Ustman, sab’ah ahruf itu sudah dihapus. Jika jadi perbedaan pendapat tentang ahruf, yang diambil adalah lugah Quraisy, karena Al-Quran diturunkan pertama pada bahasa itu. Jadi, sebabnya dihapuskan karena adanya perbedaan yang tajam.
Qiraat dapat membawa perbedaan tetapi tidak membawa pada pertentangan yang tajam, karena semuanya masih mengacu pada satu tulisan, yaitu rasm utsmani. Qiraat hanya membawa pada perbedaan hukum dan sekaligus memberikan keluwesan pada hukum. Panitia dibentuk Ustman bersifat lain terhadap qiraat, yaitu untuk memilihara keberadaan.
Ini dilakukan dengan dua bentuk :
1. Dengan sengaja.
2. Tidak sengaja.
2.10 Tingkatan Qiraat
Dalam ilmu hadits, yang kesahihan sanad menjadi salah satu tolak ukur terpenting , begitu pula dalam ilmu qiraat dijumpai hal yang sama. Suatu qiraat tidak akan diterima, kecuali jika ia terbukti diterima dari generasi sebelumnya dengan penerimaan secara lisan. (bi al-musyafahan wa al-sima ).
Dengan tolak ukur ini, maka qiraat sering dibagi menjadi :
1. Qiraat yang disepakati kemutawatirannya, yakni qiraat tujuh
2. Qiraat yang diperlisihkan kemutawatirannya, disebut juga dengan qiraat ahad. Yakni tiga qiraat selain yang tujuh tadi.
3. Qiraat yang disepakati syudzud-nya. Yakni qiraat empat, yang mengenapkan semua menjadi 14 qiraat.
4. Selain itu, ada lagi qiraat yang bathil, ialah qiraat yang menambah kata : مِنْ أُ مِّ sehingga menjadi وَ لَهُ أَ خُ وَ أَ خْتُ مِنْ أُ مٍّ
2.11 Pengaruh Qiraat Terhadap Istinbat Hukum
Dalam hal istimbat hukum, qiraat dapat membantu menetapkan hukum secara lebih jeli dan cermat. Perbedaan qiraat al-Quran yang berkaitan dengan substansi lafaz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafaz tersebut adakalanya tidak. Dengan demikian, maka perbedaan qiraat al-Quran adakalanya berpengaruh terhadap istimbat hukum dan adakalanya tidak.
1. Perbedaan qiraat yang berpengaruh terhadap istinbat Hukum Qiraat shahihah (Mutawatir dan Masyhur) bisa dijadikan sebagai tafsir dan penjelas serta dasar penetapan hukum, misalnya qiraat membantu penafsiran qiraat (لَامَسْتُمْ) dalam menetapkan hal-hal yang membatalkan wudu seperti dalam Q.S Al-Nisa’ (4): 43 :
وَإِنْ كُنتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Terjemahnya:
"….. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci): sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun".
Ada perbedaan cara membaca pada lafaz (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ). Ibn Katsir, Nafi', 'Ashim, Abu 'Amer dan Ibn 'Amir, membaca (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ), sedangkan Ham-zah dan al-Kisa'i, membaca (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ). Para ulama berbeda pendapat tentang makna dari qiraat (لَامَسْتُمْ), ada tiga versi pendapat ulama mengenai makna (َامَسْتُمْ), yaitu: bersetubuh, bersentuh, dan bersentuh serta bersetubuh.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang maksud dari (َامَسْتُمْ). Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid, Qatadah dan Abu Hanifah berpendapat bahwa maksudya adalah: bersetubuh. Sementara itu, Ibn Mas'ud, Ibn Abbas al-Nakha'i dan Imam Syafi'i berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah: bersentuh kulit baik dalam bentuk persetubuhan atau dalam bentuk lainnya.[7]
Ada sebuah pendapat yang menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ) adalah sekedar menyentuh perempuan. Sedangkan maksud dari (امَسْتُمْ) adalah berjima’ dengan perempuan. Sementara ada hadis shahih yang menceritakan bahwa Nabi SAW pernah mencium istrinya sebelum berangkat sholat tanpa berwudhu lagi. Jadi yang dimaksud dengan kata (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ) di sini adalah berjima’, bukan sekedar menyentuh perempuan. Dari contoh di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa yang membatalkan wudhu adalah berjima’, bukan sekedar bersentuhan dengan perempuan.
Pendapat lain menyatakan bahwa pendapat yang kuat adalah yang berarti bersentuhan kulit. Pendapat ini dikuatkan oleh al-Razi yang menyatakan bahwa kata al-lums (اللمس) dalam qira’at (لمستم), makna hakikinya adalah menyentuh dengan tangan. Ia menegaskan bahwa bahwa pada dasarnya suatu lafaz harus diartikan dengan pengertian hakikinya. Sementara itu, kata al-mulamasat (الملامسات) dalam qiraat (لمَسْتُمْ), makna hakikinya adalah saling menyentuh, dan bukan berarti bersetubuh.
2. Perbedaan Qiraat yang Tidak Berpengaruh terhadap Istinbat Hukum
Berikut ini adalah contoh dari adanya perbedaan qira’at tetapi tidak berpengaruh terhadap istimbath hukum, yaitu pada Q.S. al-Ahzab (33): 49.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمْ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Terjemahnya:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah, dan lepaskanlah mereka itu dengan cara sebaik-baiknya."
Ayat di atas menjelaskan, bahwa seorang istri yanng diceraiakn oleh suaminya dalam keadaan belum disetubuhi, maka tidak ada masa iddah baginya. Masa iddah adalah masa menunggu bagi seorang wanita yang diceraikan suaminya, sebelum wanita tersebut dibolehkan kawin lagi dengan laki-laki lain.
Berkenaan dengan ayat di atas, Hamzah dan al-Kisa'I, membacanya dengan (مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمآسُّوهُنَّ), sementara Ibn Kasir, Abu 'Amer, Ibn 'Ashim, dan Nafi' membaca: (مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ). Perbedaan bacaan tersebut tidak menimbulkan perbedaan maksud atau ketentuan hukum yang terkandung di dalamnya.
3. Pemakaian Qiraat Syaz dalam Istinbat Hukum
Tidak hanya qiraat mutawatir dan masyhur yang dapat dipergunakan untuk menggali hukum-hukum syar’iyah, bahkan qiraat Syaz juga boleh dipakai untuk membantu menetapkan hukum syar’iyah. Hal itu dengan pertimbangan bahwa qiraat Syaz itu sama kedudukannya dengan hadis Ahad (setingkat di bawah Mutawatir), dan mengamalkan hadis Ahad adalah boleh. Ini merupakan pendapat Jumhur ulama.
Ulama mazhab Syafi’i tidak menerima dan tidak menjadikan Qiraat Syaz sebagai dasar penetapan hukum dengan alasan bahwa Qiraat Syaz tidak termasuk al-Quran. Pendapat ini dibantah oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa dengan menolak Qiraat Syaz sebagai al-Quran tidak berarti sekaligus menolak Qiraat Syaz sebagai Khabar (Hadis). Jadi, paling tidak Qiraat Syaz tersebut merupakan Hadis Ahad.
Contoh penggunaan Qiraat Syaz sebagai dasar hukum adalah sebagai berikut :
1. Memotong tangan kanan pencuri, berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam surat al-Maidah ayat 38, yang berbunyi :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْمانيَهُما
Artinya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan kanan keduanya…..
Dalam Qiraat yang shahihah ayat tersebut berbunyi :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
2. Mazhab Hanafi mewajibkan puasa tiga hari berturut-turut sebagai kafarah sumpah, juga berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam surat al-Maidah ayat 89, yang berbunyi:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ متتلبعات
Artinya :
Barangsiapa tidak sanggup melakukan demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari berturut-turut ….
Dalam qiraat yang shahihah ayat tersebut berbunyi :
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Sya’ban Muhammad Ismail, mengutip pernyataan Abu ‘Ubaid, menyatakan bahwa tujuan sebenarnya dari Qiraat Syaz adalah merupakan Tafsir dari qiraat shahih (masyhur) dan penjelasan mengenai dirinya. Huruf-huruf tersebut harakatnya (lafaz Qira’at Syaz tersebut) menjadi tafsir bagi ayat al-Quran pada tempat tersebut. Hal yang demikian ini, yaitu tafsir mengenai ayat-ayat tersebut, pernah dikemukakan oleh para Tabi’in, dan ini merupakan hal yang sangat baik.
Pendapat ini diperkuat dengan pernyataan al-Suyuti, sebagai berikut : “Jika penafsiran itu dikemukakan oleh sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang benar, yang kemudian menjadi bagian dari qiraat al-Quran itu sendiri, tentu tafsir ini lebih tinggi nilainya dan lebih kuat. Mengambil kesimpulan hukum dari penafsiran yang dikemukakan Qiraat Syaz ini adalah suatu pengejawantahan yang dapat dipertanggung jawabkan.”[8]
2.12 MANFAAT MEMPELAJARI ILMU QIRAAT
Adanya bermacam-macam qiraat seperti telah disebutkan di atas, mempunyai berbagai manfaat, yaitu :
1. Meringankan umat Islam dan mudahkan mereka untuk membaca al-Quran. Keringanan ini sangat dirasakan khususnya oleh penduduk Arab pada masa awal diturunkannya al-Quran, dimana mereka terdiri dari berbagai kabilah dan suku yang diantara mereka banyak terdapat perbedaan logat, tekanan suara dan sebagainya. Meskipun sama-sama berbahasa Arab. Sekiranya al-Quran itu diturunkan dalam satu qiraat saja maka tentunya akan memberatkan suku-suku lain yang berbeda bahasanya dengan al-Quran.
2. Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya al-Quran dari perubahan dan penyimpangan, padahal kitab ini mempunyai banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
3. Dapat menjelaskan hal-hal mungkin masih global atau samar dalam qiraat yang lain, baik qiraat itu Mutawatir, Masyhur ataupun Syadz. Misalnya qiraat Syadz yang menyalahi rasam mushaf Usmani dalam lafaz dan makna tetapi dapat membantu penafsiran, yaitu lafaz (فامضوا) sebagai ganti dari lafaz (فَاسْعَوْا) pada Q.S. al-Jumu’ah (62): 9:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْع
Yang dimaksud dengan (فَاسْعَوْا) di sini adalah bukan berjalan cepat-cepat dan tergesa-gesa, tetapi bersegera pergi ke masjid dan berjalan dengan tenang.
4. Bukti kemukjizatan al-Quran dari segi kepadatan maknanya, karena setiap qiraat menunjukkan suatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu adanya pengulangan lafaz.
5. Meluruskan aqidah sebagian orang yang salah, misalnya dalam penafsiran tentang sifat-sifat surga dan penghuninya dalam Q.S. al-Insan (76): 20 :
وَإِذَا رَأَيْتَ ثَمَّ رَأَيْتَ نَعِيمًا وَمُلْكًا كَبِيرًا
Dalam qiraat lain dibaca (مَلِكًا) dengan memfathahkan mim dan mengkasrahkan lam, sehingga qira’at ini menjelaskan qira’at pertama bahwa orang-orang mukmin akan melihat wajah Allah di akhirat nanti.
6. Menunjukkan keutamaan dan kemuliaan umat Muhammad SAW atas umat-umat pendahulunya, karena kitab-kitab yang terdahulu hanya turun dengan satu segi dan satu qiraat saja, berbeda dengan al-Quran yang turun dengan beberapa qiraat.
-------------------------
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwasanya, Qiraat adalah cara membaca ayat-ayat al-Quran yang dipilih dari salah seorang imam ahli qiraat yang berbeda dengan cara ulama’ lain serta didasarkan atas riwayat yang mutawatir sanadnya yang selaras dengan kaidah-kaidah bahasa arab yang terdapat dalam salah satu mushaf Usmani. Qiraat ini muncul pada Nabi Muhammad saw sampai sekarang. Macam-macam qiraat dibagi menjadi lima bagian yaitu Qira’ah Mutawatir, Qira’ah Masyhur, Qira’ah Ahad, Qira’ah Syadz, Qira’ah Maudlu’. Metode penyampaian Qira’at yaitu mendengar dari guru, membaca didepan guru, melalui ijazah, melalui naskah dari guru, melalui tulisan, wasiat, melalui pemberitahuan (al-I’lam), hasil temuan.
3.2 SARAN
Dengan sangat menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis menyarankan kepada pembaca untuk memberikan sumbangan saran serta kritikan dalam memperbaiki makalah penulis untuk yang akan datang.
-----------
DAFTAR PUSTAKA
Manna’ Khalil al-Qattan.2013. Studi Ilmu Ilmu Quran.Bogor. Pustaka Litra AntarNusa.
Akaha , Zulfikar Abduh.1996. Al-Quran dan Qiraat .Jakarta.Pustaka Al-Kautsar.
Marzuki, Kamaluddin. 1994. ‘Ulum Al-Qur’an. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.
Madyan Ahmad Syams. 2008. Peta Pembelajaran Al-Qur’an.Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Azmi, Abdul Ghani.1999. Mengenal Al-Quran dan Asas-Asas Ulumul Quran. Kuala Lumpur.Al-Hidayah Publishers.
El-Qadhi, Abdul Fatah.1999 Sejarah Al-Quran (Terjemahan Ismail Mohd Hassan). Kuala Terengganu. Penerbitan Yayasan Islam Negeri Terengganu.
--------------
FOOTNOTE
--------------
[1] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu Ilmu Quran,cet. 16 (Bogor: Pustaka Litra AntarNusa,2013),hlm.247.
[2] Lihat Q.S at-Taubah [9]:128.
[3] Ahmad Syams Madyan, Peta Pembelajaran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2008)),hlm142.
[4] Ahmad Syams Madyan, Peta Pembelajaran Al-Quran, op.cit. hlm.141.
[5] Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum Al-Qur’an, (Bandung:PT. Remaja Rosdakarya.,1994), hlm.107.
[6] Abduh Zulfikar Akaha, Al-Quran dan Qiraat (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,1996),hlm.194
[7] Abdul Ghani Azmi, Mengenal Al-Quran dan Asas-Asas Ulumul Quran. (Kuala Lumpur.Al-Hidayah Publishers.1999).hlm.115.
[8]Abdul Fatah El-Qadhi, Sejarah Al-Quran (Terjemahan Ismail Mohd Hassan). (Kuala Terengganu. Penerbitan Yayasan Islam Negeri Terengganu.1999).hlm. 85.
No comments:
Post a Comment